Selamat Datang di Blog Kami

Blog Kami memang tidak istimewa, namun paling tidak meramaikan dunia maya, dan menambah hazanah wawasan

Negeri Salafy: Metode Penelitian Fikih

Semua manusia mencari dunia demikian juga saya, tapi semua tiada akan abadi dan fana

Kewajiban Bela Negara

Bela Negara Adalah Kewajiban Bagi Semua Warga Negara Indonesia demi Pertahanan Dan Pembelaan Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara." dan " Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang." Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara : 1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional. 2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat. 3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988. 4. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI. 5. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI. 6. Amandemen UUD '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3. 7. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti : 1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling) 2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri 3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn 4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka. Makanya bagi kawula muda boleh anda berkreasi, tapi yang positif jangan hanya yang penting hepy akhirnya malah merusak diri sendiri, bahkan Negara…………… okreee

MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia di kenal sebagai pelayar – pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas.Sejak awal abad masehi sudah ada rute – rute pelayaran dan operdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerag di daratan Asia Tenggara. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang di jual di sana menarik para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Pedagang – pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke -7 M. (abad 1 H). Ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah, Malaka jauh sebelum di taklukan Portugis (1511) meupakan puat utama lalu lintas perdagangan & pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan & rempah- rempah dari seluruh pelosok Nusantara di bawa ke Cina & India. Terutama Gujarat yang melakukan hubungan langsung dengan Malaka II. MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA Persia, yang ketika itu jlas sudah menjadi muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat Internasional antara negeri – negeri di Asia bagian barat dan Timur mungkin karena di sebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Masuknya Islam di Indonesia di pacu melalui perdagangan sejak awal abad Masehi sudah ada rute – rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara . Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian . Terutama karena hasil bumi yang du jual di sana menarikbagi para pedang, dan menjadi daerah lintasan pentig antara Cina dan India. Pedagang – pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke – 7 M ketika Isalam pertama kali berkembang ke Timur Tengah. Menurut J.C Van Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat di perkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni – koloni arab di barat laut Sumatera, yaitu di barus. Daerah penghasil kaour barus terkenal . Dari berita Cina bisa di krtahui bahwa dimasa dinasti Tang (abad ke 9-10) orang – orang Ta-Shih supdah ada di kanton (Kan – fu) dan Sumatera. Ta- Shih adalah sebutan untuk orang – orang Arab dan Umayah di bagian barat dan kerajaan Cina Zaman dinasti Tang di Asia bagian timur serta Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Menjelang abad ke- 13 M., di pesisir Aceh sudah ada pemukiman Muslim. Persentuhan antara penduduk pribumi dengan pedagang muslim. Sejak persentuhan itu terjadi, yang kemudian muncul kerajaan Samudera pasai. Pada pertengahan abad ke -13M, setelah kerajaan Islam ii berdiri, perkembangan masyarakat muslim di malaka makin meluas dan pada awal abad ke – 15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam yang ke – 2 di Asia Tenggara. Kerajaan 9ni cepat berkembang bahkan dapat mengambil alih domonasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudera Pasai yang kalah nersaing. Lajunya perkembangan masyarakat muslim ini barkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya. Setelah malaka jatuh ke tangan Portugis (1511 M) mata rantai penting pelayaran beralih ke Aceh. Kerajaan Islam yang mlanjutkan kejayaan Samudera Pasai . Dari sisni roses Islamisasi di kepulauan Nusantara berlangsung lebih cepat dari sebelumnya Sampai berdirinya kerajaan –kerajaan Islam , perkembangan agama Islam dapat di bagi menjadi 3 fase yaitu :  Singgahnya pedagang –pedagang Islam di pelabuhan – pelabuhan Nusantara  Adabya komu itas – komunitas Islam di beberapa di pelabuhan – pelabuhan Nusatara  Berdirinya kerajaan Islam III. SALURAN DAN CARA ISLAMISASI DI INDONESIA Kedatangan Islam dan penyebaranya kepada golongan bangsawan dan rakyat uumnya di lakukan secara damai. Menurut Uka Tjandrasasmuta, saluran – saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu 1. Saluran prdagangan 2. Saluran perkawinan 3. Saluran Tasawuf 4. Saluran Pendidikan 5. Saluran Kesenian 6. Saluran Politik IV. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI SUMATERA 1. Samudera Pasai Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai.Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kemunculanya sebagai Kerajaan Islam di perkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke- 13 M. Sebagai hasul poses islamisasi dserah – daerah pantai yang pernah di singgahi pedagang –pedagang muslim sejak abad ke – 7, ke- 8 dan seterusnya Bukti berdirinya Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke- 13 M itu di dukung oleh adanya nisan kubur terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan tersebut dapat di ketahui bahwa raja I kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan th 696 H yang di perkirakan bertepatan dengan dengan th 1297 M raja Samudera Pasai yang pertama bernama Malik al-Saleh. Hal itu di ketahui melalui tradisi hikayat Raja – raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang di lakukan sarjana – sarjana barat. Dalam hikayat raja-raja pasai tersebut gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat perteuanya dengan syeh Ismail. Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukkan oleh portugis yang mendudukinya selama 3 th, kmudian th 1254 dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughatyatsyah. Selanjutnya kerajaan Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. 2. Aceh Darussalam Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu di ketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke – 15 M, di atas puing – puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M) Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam .Kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar al –Kamal. Raja yang pertama bernama Ali Muhgayat Syah.Peletak dasar kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alaudin Riayat Syah yang bergelar al-Qahar. Kerajaan ini bekerjasama dengan kerajaan ustmani di Turki dan negara –negara Islam yang lain di Indonesia.Aceh ketika itu nampak mengakui kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kedaulatan trtinggi dan kekhalifahan dalam Islam. Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637) V. KERAJAAN –KERAJAAN ISLAM DI JAWA 1. Demak Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya engan melemahnya Posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada penguasa- penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Wali songo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan islam pertama di jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama Raden Patah dalam menjalankan pemerintahanya, terutama dalampersoalan –persoalan agama, di bantu para ulama, wali songo. Sebelumnya Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vasal Majapahit yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. 2. Pajang Kesultana Pajang adalah pelanjut dan di pandang sebagai pewaris kerajaan islam Demak. Kesultanan yang terletak di daerah Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau jawa. Sultan atau raja pertama kesultanan ini adalah jaka Tingkir yang berasal dari pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh Raja Demak ke 3, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir di angkat menjadi penguasa di Pajang. Riwayat kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung. 3. Mataram Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang bersal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada ki Pamanahan yang menurukan raja – raja Mataram Islam kemudian. 4. Cirebon Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung jati. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah – daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, kuningan, kawali, sunda kelapa, dan banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, beliau di gantikan oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafattahun 1650 dan di gantikan oleh puteranya yang bergelar Panembahan Girilaya. 5. Banten Banten sejak semula merupakan vasal dari Demak yang di pimpin oleh Hasanudin yang merupakan putera dari Sunan Gunung Jati.Hasanudin wafat th 1570 dan di ganti olh puteranya Yusuf. VI. KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN, MALUKU, DAN SULAWESI 1. Kalimantan Kalimantan terlalu luas untuk berada di bawah satu kekuasaan pada waktu datangnya Islam. Daerah barat laut menerima Islam dari Malaya, daerah timur dari Makassar dan wilayah selatan dari jawa. a. Kerajaan Kalimantan Selatan Tulisan – tulisan yang membicaraka tentang masukya Islam di kalimantan Selatan selalu mengidentifikasikan dengan berdiriya kerajaan Banjarmasin. Kerajan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yag beragama hindu. b. Kerajaan kutai di kalimantan Timur 2. Maluku Islam mencapai kepulauan rempah-rempah yang sekrang di kenal dengan Maluku ini pada pertengahan terakhir abad ke 15. raja ternate memeluk agama Islam. Nama raja itu adalah Vongi Tidore. Ia mengambil seorang istri keturunan ningrat dari jawa. Karena usia Islam masih muda di ternate, portugis yang tiba di sana th 1522 berharap dapat menggantikannya dengan agama kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka haya mendatangkan hasil yag sedikit. 3. Sulawesi (Gowa – Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu) Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya di sebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjug barat daya pulau sulawesi, yang merupakan daerah transiti sangat stratgis. Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat pedagangan laut, kerajaan ini menjalin hubugan baik dengan Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik ? Giri. Di bawah pemerintahan Babullah. Penyebaran Islam setelah itu berlangsug sesuai dengan tradisi yang telah lama di terima oleh para raja, keturunan To Maurung. Tradisi ii itu mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan”hal baik” kepada yang lain. VII. KESIMPULAN Dari pembahasan makalah ini dapat kami simpulkan sebagai berikut : 1. Kerajaan Islam pertama kali di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai 2. Sampai berdirinya kerajaan –kerajaan Islam , perkembangan agama Islam dapat di bagi menjadi 3 fase yaitu :  Singgahnya pedagang –pedagang Islam di pelabuhan – pelabuhan Nusantara  Adabya komu itas – komunitas Islam di beberapa di pelabuhan – pelabuhan Nusatara  Berdirinya kerajaan Islam 3. saluran – saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu o Saluran prdagangan o Saluran perkawinan o Saluran Tasawuf o Saluran Pendidikan o Saluran Kesenian o Saluran Politik VIII. PENUTUP Demikianmakalah ini kami buat, untuk kesempurnaan makalah ini mohon saran dan kritiknya. Apabila ada kesalahan kami mohon maaf. IX. DAFTAR PUSTAKA 1. Dr. Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam,PT raja Grafindo Persada, Jakarta 2. Anas Mahmud, Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Pantai Timur Pulau Sumatera,-- ----ooOOoo---

Metode Penelitian Fikih

METODE PENELITIAN FIQIH I. PENDAHULUAN Fikih atau hokum islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling di kenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Ilmu fikih di kategorikan sebagai ilmu al-hal, yaitu ilmu yang wajib di pelajari, karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibanya mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti salat, puasa, haji dsb. Ilmu fikih menyangkut banyak kehidupan manusia. Tidak hanya pada masalah ibadah saja namun juga mencakup fikih muamalah, tindak pidana, peperangan dan pemerintahan dsb. Demikian besar fungsi fikih maka nampak menyatu dengan misi agama Islam yang kehadiranya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan keteraturanya. Berdasarkan pada pengamatan terhadap fungsi hokum Islam atau fikih tersebut, maka munculah serangkaian penelitian dan pengembangan hokum islam, yaitu penelitian yang ingin melihat seberapa jauh produk – produk hokum islam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman, dan bagaimana seharusnya hokum islam itu di kembangkan dalam rangka meresponi dan menjawab secara kinkret berbagai masalah yang timbul di masyarakat. Sejalan dengan pemikiran tersebut di atas, maka pada bagian ini akan di kemukakan tentang model-model penelitian fikih atau hokum islam dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian fikih atau hokum islam serta karakteristiknya. II. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM Pengertian hukum islam disini di maksudkan di dalamnya pengertian syari’at. Dalam kaitan ini di jumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum islam atau fikih adalh sekelompok dengan syari’at. Yaitu ilmu berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash al-Qur’an atau al-sunnah. Dengan demikian yang di sebut ilmu fikih adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil – dalil yang terperinci (Muhtar yahya dan Fathurrohman, dasar – dasar pembinaan Hukum Islam, Bandung : Al- Ma’arif, 1986, cet Ke-10 hal 15) Yang di maksud amal perbuatan manusia adalah segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubugan dengan bidang ibadah, muamalat, kepidanaan dsb, bukan yang berhubungan dengan akidah (kepervayaan). Adapun yang di maksud dengan dalil terperinci adalah satuan – satuan dalil yang masig-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu (ibid hal 15) Berdasarkan batasan tersebut maka dapat di bedakan antara syari’ah dan hukum islam atau fikih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang di gunakannya. Jika syari’at pada nash al-Qur’an atau al sunnah secara langsung tanpa memerlikan penalaran, sedangkan hukum islam di dasarkan pada dalil-dalil yang di bangun oleh para ulama melalui penataran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syari’at yang bersifat permanen, kekal dan abadi. Maka fikih atau hukum islam bersifat temporer dan dapat berubah. III. MODEL – MODEL PENELITIAN HUKUM ISLAM (FIQIH) Pada uraian berikut ini akan di sajikan beberapa model penelitian yang di lakukan oleh Harun Nasution, Noel J. Coulson dan Muhamad Atha Muzar a. Model Harun Nasution Sebagai Guru Besar dalam bidang Teologi dan filsafat Islam, Harun Nasution juga mempunyai pehatian terhadap hukum Islam. Melalui penelitianya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum islam dengan menggunakan metode pendekatan sejarah.Harun Nasution mendeskripsikan stuktur hukum islam secara komprehensip, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an, latar belakang dan sejarah petumbuhan dan perkembangan hukum islam dari sejak zaman nabi samapai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang ada di dalamnya. Melalui pendekatan sejarah Harun nasution membagi perkembangan hukum islam ke dalam 4 periode, yaitu period nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta kenajuan dan periode taklid serta kemunduran.  Periode nabi Pada period nabi segala persoalan di kembalikan kepada nabi untuk menyelesaikannya, maka nabilah yang menjadi satu – satunya sumber hukum. Secara langsung pembuat hukum adalah nabi, tetapi secra tidak langsung Tuhanlah pembuat hukum, karena hukum di keluarkan Nabi bersumber pada wahyu dati Tuhan. Nabi bertugas menyampaikan dan melaksanakan hukum yang di tentukanTuhan. Sumber hukum yang di tinggalkan Nabi untuk zaman- zaman sesudahnya ialah al Qur’an dan sunnah nabi.  Peiode sahabat Karena daerah yang ddi kuasai Islam bertambah luas dan termasuk kedalamnya daerah di luar semenanjung arabi yang telah mempunyai kebudayaan tiggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana di bandigkan dengan masyarakat arabia ketika itu, maka sering di jumpai berbagai persoalan hukum. Untuk ini para sahabat di sampig berpegang kepada al Qur’an dan al=sunnah juga kepada sunnah para sahabat.  Periode ijtihad Problema hukum yag di hadapi semakin beragam, sebagai akibat dari semakin bertambahnya daerah islam dengan berbagai macam bangsa masuk islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan. Dal;am kaitan ini maka muncullah ahli – ahli hukum mujtahid yang dis ebut imam atau fiqih dalam islam. Pada masa inilah timbulnya mazhab dan hukum islam yaitu Abu Hanifah, Imam malik, Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Dari uraian tersebut terlihat bahwa model penelitian HukumIslam yang di gunakan Harun Nsution adalah penelitian oksplorasi, deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kesejarahan. Interpretasi yang di lakukanatas data – data historis tersebut selalu di kaitkan dengan konteks sejarahnya. b. Model Noel j. Coulson Noel j. Coulson menyajikan hasil penelitian di bidang Hukum Islam dalamkaryanya berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Penelitianya bersifat deskriptif analitis ini menggunakan pendekatan sejarah. Seluruh informasi tentang perkembangan hukum pada setiap periode selalu di lihat dari faktor-faktor sosio kultural yang mempengaruhinya, sehingga tidak ada satupun produk hukum yang di buat dari ruang yang hampa sejarah Hasil penelitianya di tuangkan dalam 3 bagian 1. Menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang di dalamnya di bahas tentanglegalisasi al-Qur’an, praktek hukum di abad pertama islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, imam al-Syafi’i 2. Berbicara tentang danpraktek hukum islam di abad pertengahan. Di dalamnya membahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dankeragaman, dampak aliran dalamsistem hukum, pemerintahan dan hukum syari’at, masyarakat islam dalam hukum syari’at 3. Berbicara tentang hukum islam di masa modern yang di dalamnya di bahas tentang penyerapan hukum eropa, hukum syari’at kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad. Dari hasil penelitia coulson nampak bahwa dengan menggunakan pendekatan historis, Coulsonlebih berhasil menggambarkan perjalanan hukum Islamdari sejak berdirinya hingga sekarang secara utuh. Melalui penelitian itu, coulson telah berhasil menempatkan hukum islam sebagai perangkata norma dari perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial. Di dalam prosesnya , hukum sebagai lembaga sosial memenui kebutuhan pokok manusia akankedamaian dalam masyarakat. Dalam hukum islamsebagaimana diketahui misalnya memperhatikan sekali masalah keluarga, karena dari keluarga yang baik,makmur dan bahagialah tersusun masyarakat yang baik, makmur dan bahagia. Oleh karena itu keteguhan ikatan kekeluargaan perlu di pelihara. Dengan melihat fungsi hukum demikian , maka pengamatan terhad perubahan sosial harus di jadikan petimbangan dalam rangka reformasi hukum islam. c. Model Mohammad Atho Mudzhar Tujuan dari penelitian yang di lakukan oleh Mohammad Atho Mudzhar adalah untuk mengetahui matei fatwa yang di kemukakan Majelis Ulama Indonesia serta latar belakang sosial politik yang melatar blakangi timbulnya fatwa tersebut. Penelitian ini bertolak dari suatu asumsi bahwa produk fatwa yang di keluarkan Majelis Ulama Indonesia selalu di pengaruhi oleh setting sosio kultural dan sosio politik, serta fungsi dan status yang harus di mainkan oleh lembaga tersebut. Hasil penelitian tersebut di tuagkan dalam 4 Bab. 1. Mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik islam di indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum islam. Karakteristik tersebut di lihat dalam 4 aspek, yaitu latar belakag kultur, doktrin teologi, stuktur sosial dan ideologi politik 2. Dalam bab ibi mengemukakan tentang Majelis Ulama Indonsia dari segi latar belakang didirikanya, sosio politik yang mengitarinya, hungan Majelis Ulama dengan pemetintahan dan organisasi islam serta organisasi non islam lainya dan berbagai fatwa yang di keluarkannya. 3. Penelitian dalam di sertai mengemukakan tentang isi produk fatwa yang di keluarkan oleh MUI seta metod yang di gunakanya. Fatwa tersebut antaralain meliputi bidang ibadah riual, masalah keluarga dan perkawinan, kebudayaan, masalah kedokteran, keluarga berencana, dan aliran minoritas dalam islam. 4. Berisi kesimpulan yang di hasilkan dari studi tersebut. Dalamkesimpulan tersebut di nyatakan bahwa fatwa MUI dalam kenyataanya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana di jumpai dalam ilmu fikih. Ketidakkonsistenan MUI dalam mematuhi metodologi penetapan hukum tersebut, menurut peneliti di sebabkan oleh sejumlah faktor, seperti faktor politik. Diantara fatwa Mui yang di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah antara lain mengenai fatwa penyembelihan binatang, keluarga berencana, ibadah ritual,serta pelbuhan udara jeddah atau bandara king abdul Aziz sebagai tempat melakukan miqot bagi jamaah haji Indonesia yang menggunakan pesawat terbang. Produk –produk hukum yang sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan sosial banyak terjadi pada masalah – masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, kriminalitas, masalah perkawinan, dsb. Penelitian tersebut bermanfaat dalam upaya membuka pikiran dan pandangan para ulama fikih di Indonesia yang cenderung kurang berani mengeluarkan fatwa, atau kurang produktif dalam menjawab berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat sebagai akibat dari kekurangfahaman dalam memahami sutuasi yang berkembang, dan bagaimana memanfatkan situasi tersebut dalam rangka melahirkan produk hukum. Penelitian tersebut pada intinya sejalan d3nga penelitian yang di lakukan Coulson yang menggunakan pendekatan historis dalam penelitianya. Dengan demikian,hukumislambaik langsung maupun tidak langsungmasuk kekategori sosial. Hal ini sama skali tidak mengganggu kesucian dan kesakralan ak Qur’an yang menjadi sumber hukum islam tersebut. Sebab yang di persoalkan di sini bukan mempertanyakan releven dan tidaknya al Qur’an tersebut tetapi yang di persoalkan adalah apakah hasil pemahanan terhadap ayat- ayat al Qur’an, khususnya mengenahi ayat – ayat ahkam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman atau tidak. Karena dengan cara inilah makna kehadiran al Qur’ an secara fungsional dapat di rasakan oleh masyarakat. IV. KESIMPULAN 1. Ilmu fikih adalah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil – dalil yang terperinci 2. Harun nasution membagi perkembangan hukum islam ke dalam 4 periode, yaitu period nabi, periode sahabat, periode ijtihad serta kenajuan dan periode taklid serta kemunduran. 3. Hasil penelitianya di tuangkan dalam 3 bagian o Menjelaskan tentang terbentuknya hukum syari’at, yang di dalamnya di bahas tentanglegalisasi al-Qur’an, praktek hukum di abad pertama islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama, imam al-Syafi’i o Berbicara tentang danpraktek hukum islam di abad pertengahan. Di dalamnya membahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dankeragaman, dampak aliran dalamsistem hukum, pemerintahan dan hukum syari’at, masyarakat islam dalam hukum syari’at o Berbicara tentang hukum islam di masa modern yang di dalamnya di bahas tentang penyerapan hukum eropa, hukum syari’at kontemporer, taklid dan pembaharuan hukum serta neo ijtihad. 4. Hasil penelitian tersebut di tuagkan dalam 4 Bab. o Mengemukakan tentang latar belakang dan karakteristik islam di indonesia serta pengaruhnya terhadap corak hukum islam. Karakteristik tersebut di lihat dalam 4 aspek, yaitu latar belakag kultur, doktrin teologi, stuktur sosial dan ideologi politik o Dalam bab ibi mengemukakan tentang Majelis Ulama Indonsia dari segi latar belakang didirikanya, sosio politik yang mengitarinya, hungan Majelis Ulama dengan pemetintahan dan organisasi islam serta organisasi non islam lainya dan berbagai fatwa yang di keluarkannya. o Penelitian dalam di sertai mengemukakan tentang isi produk fatwa yang di keluarkan oleh MUI seta metod yang di gunakanya. Fatwa tersebut antaralain meliputi bidang ibadah riual, masalah keluarga dan perkawinan, kebudayaan, masalah kedokteran, keluarga berencana, dan aliran minoritas dalam islam. o Berisi kesimpulan yang di hasilkan dari studi tersebut. Dalamkesimpulan tersebut di nyatakan bahwa fatwa MUI dalam kenyataanya tidak selalu konsisten mengikuti pola metodologi dalam penetapan fatwa sebagaimana di jumpai dalam ilmu fikih. V. PENUTUP Demikian makalah ini kami susun. Kami percaya bahwa dalampenyusunan ini masih terjadi banyak kekurangan, demi kelengkapanya kami mohon kritik dan saran yang membangun. Apabila ada kesalahan dalam penyusunan ini kami mohon ma’af . VI. DAFTAR PUSTAKA  Mukhtar Yahya & Fathurrahman, Dasar – Dasar Pembinan Hukum Islam, (Bandung : Al- Ma’arif, 1986) cet ke – 10  Dr. H. Abuddin Nata, MA,Metodologi Stugi Islam,(jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke-8

MEGINTAI FENOMENA JADZAB

MENGINTAI FENOMENA “ JADZAB “ “ Suatu maqom diluar kesadaran dalam dunia Tasawuf ” Oleh : M. ANWAR SALAFUDIN PROLOG Islam adalah kepatuhan lahiriah. Kepatuhan ini tidak dapat disempurnakan tanpa kepatuhan batiniah. Jika tidak kemunafikanlah yang terjadi, kepatuhan batiniah adalah keimanan yang diwujudkan kedalam perbuatan batin (qolbu) 1) .Al-Qolbu ada dua arti, pertama daging yang terdapat didada sebelah kiri yang berisi darah hitam, terdapat dalam manusia dan hewan . Kedua ia adalah bisikan Rabbaniyah Ruhaniyah yang punya hubungan dengan daging ini , bisikan ini yang mengenal Allah S.w.t dan memahami apa yang tak dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan . andaikata yang dimaksud al-qolbu adalah jantung, tentulah ia terdapat pada setiap orang . Dikatakan bahwa bisikan hati ini seperti raja dan daging ini seperti gedung dan kerajaan, karena kalau hubunganya seperti halnya benda-benda, tentulah tidak bisa dikatakan, “ Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya “ ( QS. Al-Anfal : 24 ) ini yang disebut tasawuf. Tasawuf merupakan maqom yang menjadi puncak ajaran agama , yakni Ihsan, Taqwa, Tazkiyah pembersihan diri dan penyerapan Robbaniyah atau sifat-sifat ketuhanan. Dalam dunia tasawuf atau mistisme dalam Islam seluruh muara ajaranya akan berpuncak pada pengenalan dan pengetahuan tentang Allah (Ma’rifatulloh ), para Ulama sufi menunjukkan kepada para pengikutnya bagaimana jalan yang harus dilalui untuk menuju kepada Allah hingga mencapai “wushul “ dari pemikiran ini muncul berbagai macam aliran Thoriqoh, diantaranya : a. Thariqot Qodiriyah oleh Syekh Abdul Qodir Jaelani lahir 470 H di Baghdad dan meninggal 561 H (1164 M ) b. Thariqat Rifaiyyah oleh Syekh Ahmad bin Abul Hasan Arrifa”i meninggal 570 H ( 1175 M ) c. Syuhrowardiyyah oleh Syekh Abil Hasan Ali al-Syuhrowardi, meninggal 638 H ( 1240 M ) d. Syadziliyyah oleh Syekh Abil Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar As-sadzily meninggal 655 H (1256 M) e. Ahmadiyah2 oleh Syekh Ahmad Al-Badawy, meninggal 675 H (1276 M) f. Maulawiyah oleh Syekh Maulana Jalaluddin Ar-rumy meninggal 672 H (1273 M) g. Naqsyabandiyah oleh Syekh Muhammad Bahauddin Bukhory An-naqsyabandy. h. Haddadiyah oleh Syekh Abdullah Ba’lawy bin Alwi Al-hadad Al-hamdany, meninggal 1095 H 3. Para guru ( Mursyid) Thariqat yang menuntun para muridnya mencapai hakikat ibadah dengan diawali pensucian jiwa, mengosongkan segala sesuatu, menghilangkan akhlaq tercela (Takholli) dan mengisi dengan akhlaq yang mulia (Tajalli) . Murid (Salik) didalam melakukan perjalanan thoriqohnya ( suluk) menempati urutan kedua dalam ajaran tasawuf ( Syariat, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat) yang oleh para ulama adalah merupakan pengejawantahan dari firman Allah : Artinya : “ Dan jika mereka tetap berjalan lurus (menetapi / istiqomah ) diatas jalan itu, maka benar benar akan kami berikan kepada mereka minuman (air ) yang segar”. (QS : al-Jin:16) Suluk yang dilakukan oleh para salik berupa latihan atau riyadhoh yang telah ditetapkan oleh para guru (mursyid), dan para guru tersebut yang mengontrol perkembangan kerukhanian murid . sehingga dengan kemajuan ibadah dan tingkat ketaqwaannya dapat mendekatkan diri murid kepada Allah. Seorang yang mendekatkan diri kepada Allah, dikatakan oleh Allah : “ Barang siapa berjalan menuju kepada-KU, AKU akan berlari kepadanya, barang siapa mendekat kepada-KU sejengkal, maka AKU akan mendekat sehasta, siapa yang mendekat sehasta, AKU akan mendekat seperti nafas di tenggorokannya” Seperti firman ALLAH : Artinya : “ Dan Kami lebih dekat, tetapi engkau tiada melihat “ (QS:Al-waqi’ah:85) Setelah seorang salik dekat dengan ALLAH, maka ALLAH akan mencintainya, dijadikanlah ia sebagai kekasih-NYA dan wali-NYA, namun kadang di tengah perjalannya seseorang dapat tertarik oleh agungnya Cahaya ALLAH yang membuat dirinya lupa akan diri dan sekitarnya sehingga muncul perilaku yang nyeleneh (Khowariqul adah) yang oleh ulama tasawuf masyhur dengan sebutan “ JADZAB ” darinya kadang muncul perilaku dan perkataan yang membingungkan bahkan membahayakan bagi orang lain, karena upacan yang mengandung keajaiban namun berakibat buruk semisal ungkapan doa buruk terhadap seseorang, dan mungkin dapat membuat dirinya dijauhi orang karena takut, atau dianggap orang gila. Memang bila dicermati didalam tasawuf sendiri dapat dibagi dalam tiga klasifikasi, yang pertama Tasawuf Falsafi, Tasawuf Amali dan Tasawuf Akhlaqi, sedang perilaku JADZAB dapat digolongkan dalam Tasawuf Falsafi. Contoh Tokoh sufi yang mengalami dunia Jadzab seperti : Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj yang terkenal dengan uacapan dalam ketidak sadaranya ( Syatokhat ) “ Anal Haq” 4) , ataupun yang terjadi ditanah Jawa dengan Syeh Siti Jenar. POKOK BAHASAN “ DEFINITIF “ Jadzab dalam kamus bahasa Arab Jadzaba-Yajdzibu-Jadzban ( ) yang berarti menarik, sedang obyek atau Maf’ul Majdzub ( ) orang gila yang berkeramat. Berbeda dengan orang gila yang dalam kamus bahasa Arab Janna-Yajunnu-Jannan ( ) artinya menutup, sedang Junna- Junuunan ( ) artinya gila, hilang akal , dan obyek atau maf’ul Majnuun artinya orang gila. Istilah Jadzab ditulis oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athoillah Assakandari ( 658 H/1259 M –709 H/1309 M) dalam kitab Al-Khikam 5) Artinya : “Terbukti adanya makhluk, atas adanya nama-nama ALLAH dan dengan nama-nama itu atas adanya sifat, dan denganya adanya sifat-sifat itu adanya Dzat ALLAH, sebab mukhal (tidak masuk akal) adanya sifat yang berdiri sendiri tanpa adanya Dzat, maka orang orang yang Majdzub pertama terbuka (terlihat) oleh mereka kesempurnaan dzat ALLAH, kemudian menurun melihat sifat-sifat ALLAH, dan menurun pula melihat (bersandar) kepada nama-nama ALLAH, sehingga menurun melihat makhluq buatan ALLAH, sebaliknya orang Salik dari bawah naik ke atas, maka puncak orang salik sampai ke permulaan orang majdzub, dan permulaan salik adalah penghabisan orang majdzub, tetapi tidak berarti sama dalam sega hal, hanya ada kalanya bertemu dijalanan yang satu ketika sedang mendaki dan yang lain sedang menurun “ . Adanya makhluq alam ini menunjukkan ( membuktikan) adanya nama-nama ALLAH : Qoodir, Aliem, Hakiem, Muried dan menunjukkan adanya sifat : Qudrat, Iradat, Ilmu dan adanya sifat pasti adanya dzat ALLAH. Sedang sifat makhluk (manusia) ada yang majdzub ( yakni dibukakan oleh ALLAH dan sampai kepada ilmu / mengenal ALLAH) bukan dari ALLAH bukan dari bawah / saluran umum, dan ada yang melalui jalan biasa dari bawah keatas yaitu yang disebut orang salik. Dan keduanya selama belum mencapai puncak akhiranna belum dapat dijadikan guru yang dapat ditiru. Orang majdzub jika belum mengetahui perjalanan orang salik dan orang salik jika belum sampai kepuncak yang didapat (dibukakan) bagi orang majdzub .6 Menurut keterangan KH. Misbah bin Zainal Mustofa dalam terjemah Hikam juga menyebutkan bahwa orang yang dapat diberikedekatan kepada ALLAH itu ada dua macam : yakni Salik dan Majdzub. Salik yaitu perjalanan usaha memperoleh dapat dekat kepada ALLAH mencapai ma”rifatulloh, dengan cara meningkatkan dan mengembangkan iman dengan menghilangkan akhlaq tercela menggantinya dengan akhlak yang terpuji, seperti halnya akhlak imaniyah atupun ijtimaiyyah ( kemasarakatan ) Majdzub yaitu orang yang ditarik ke hadirat ALLAH; dengan kehendak ALLAH, tanpa melewati urutan suluk dalam thariqat. Jika salik dapat menguasai akal sedang majdzub tidak bisa menguasai akal sebab tertutup oleh Nur ilahiyyah, maka terkadang majdzub sering meninggalkan kewajiban agama , dan menurut syar’i tidak berdosa sebab seperti orang gila. Sedang majnun hilang akal / gila sebab tertutup oleh Nur syayatiin. Secara syar’i orang Jadzab dan Majnun mungkin memiliki persamaan yaitu hilang akal dan dikatakan sebagai orang gila, dihukumi sama dalam arti tidak berkewajiban menjalankan syariat sebagaimana mestinya sebab hilang akalnya ( ‘Udzur ) . Jika ALLAH menghendaki untuk menyempurnakan majdzub maka akan diberi kesadaran akal. Jika salik berawal memahami Af’al ALLAH-Asma-asma ALLAH-Sifat-sifat ALLAH ( Khayat, Ilmu, Irodat, Qudrat, Sama’, Basor, dan kalam )- kemudian mengerti Dzat ALLAH, jadi salik naik secara sedikit sedikit . Majdzub langsung menyaksikan kesempuraan Dzat ALLAH menuju Sifat-sifat ALLAH-menuju kejadiyan makhluk dengan asma-asma ALLAH,menuju perubahan semua makhluq.7) TOKOH TASAWUF FALSAFI ( Yang mengalami Jadzab / ekstase ) 1. Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Butami lahir 188 H, Abu Yazib berkata “ Barang saiapa mengenal ALLAH maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya” Kezuhudan Abu Yazid menmbuhkan cinta yang mendalam ( Mahabbah) yang menghanyutkan ia tenggelam dalam kezuhudanya. Dalam keadaan ini ia beroleh ma’rifat hakiki : “ Aku mengenal ALLAH dengan ALLAH dan aku mengenal selain ALLAH dengan Nur ALLAH” dalam hal ini kemudian ia mencapai maqom fana :” Dia membuat gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian membuat aku gila pada –NYA dan akupun hidup, aku berkata gila pada diriku adalah fana dan gila padamu adalah baqa “. Kemudian dia menyatu dengan Tuhan ( Ittihad ) dalam ucapan ( Syathohat ) : “ Tidak ada Tuhan selain Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku dan Maha Besar Aku” 8). 2. Abul Mughits Al-Husain bin Mansur Al-Khallaj lahir di Baiha Persia, ia mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat Lahut dan Nasut, demikian jga manusia. Melalui maqomat manusia mampu ketingkat fana suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasutnya dan meningkatlah lahut ang mengontrol menjadi inti kehidupan . yang demikian itu memungkinkan Khulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengtan kata lain Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-NYA melalui roh. Sesuai dengan ajaranya tatkala ia mengatakan “ Aku adalah Al-Khaq” bukan ia yang mengatakan tapi roh Tuhan . fana menurutnya ada tiga , pertama memfanakan semua keinginan jiwa, kedua memfanakan semua pikiran dan menghilangkan (memfanakan) semua kekuatan pikir dan kesadaran. Kemudian berlanjut pada fana al-fana peleburan ujud manusia menjadi sadar Ketuhanan melarut dalam hulul, yang disadari hanya Tuhan 9). 3. Abu Bakar Muhammad Muhidin bin Arabi Hatimi Al-Thai, lahir di Mursieh, Spanyol bagian selatan 570 H /1165 M, ia menjelaskan “ Manusia itu bagi Tuhan adalah merupakan mata dengan mata, dimana mata dapat melihat dan dilihat. Penglihatan ini diibaratkan dengan pandangan hingga ia dinamakan manusia. Dengan manusia Tuhan memandang kepada makhluk dengan kasih sayang-NYA. Manusia itulah ang baru, yang melimpahm yang bekekalan , yang abadi. Dan jika tidak Zahir Tuhanpada benda-benda makhluq niscaya tidak ada sifat-sifat dan asma-NYA. Dan manakala sudah enal pada-NYA kitapun mengenal Dia dan melalui tajalli-NYA kita mengenal alam semesta “ Wujud alam ini bagi ibnu Arabi adalah satu jua.Segala sesuatu yang wujud dengan dzauq sufi akan memandang kesemestaan ini sebagai keberadaan tunggal “ A.l-Haq dan Al-Khaliq adalah satu”. Proses terjadinya baqo dan fana tidak lepas dari tajalli Wahid Al-Haq, maka dengan ini Ibnu Arabi memunculkan konsep Wihdatul wujud ( menyatunya antara makhluq dengan Tuhan )10 4. Dalam khazanah Islam di Indonesia oleh Syeh Stiti Jenar yang memiliki nama asli Abdul Jalil, melanjutkan teori-teori diatas dengan ajaranya “Manunggaling kawulo Gusti”, perkatannya pada saat dijemput oleh utusan dari Kesultanan Demak “ disini tidak ada Siti Jenar, adanya Syeh lemah abang, tidak ada syekh lemah abang adanya Gusti Alloh” Dia menganggap bahwa semua yang ada didunia adalah bangkai, yang hidup hanya Tuhan, sedang manusia akan hidup sesungguhnya bila ia sudah mati” maka hidup adalah kematian sementara . EPILOG Semua ajaran baik yang bersifat dhohir ataupun batin tidak akan memberi kemanfaatan jika tidak ditujukan untuk mengharap kedekatan kepada ALLAH, dan semua usaha akan sia-sia jika tidak diiringi dengan kebersihan jiwa, dengan kebersihan jiwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan-nya (tempat kembali) karena kita berasal dari – NYA dan akan kembali kepadaNYA , sesuai dengan firman ALLAH : Artinya : “ sesungguhnya semua milik ALLAH, dan sesungguhnya kepada-NYA semua akan kembali “ Memang Tuhanlah yang Maha Suci, dan tidak akan bersatu dengan Tuhanya makhluq yang belum mensucikan dirinya. Penghulu para sufi Syekh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani bin Abi Sholih Janka Dausat, lahir 471 H / 1077 M wafat 561 H / 1166 M 11), mengatakan : Artinya : “ Tidak akan diperkenankan ( duduk ) berdampingan ( dengan ) disisi ALLAH Ta’ala kecuali orang yang sudah membersihkan diri dari berbagai macam kotoran ( Suci Jiwanya ) ”. Semoga kita semua dikehendaki oleh ALLAH menjadi orang yang dekat, bahkan lebih dekat dari kita sendiri, dan dituntun oleh Qudrat dan Irodat ALLAH dengan Ilmu-NYA menuju Ma’rifat Uluhiyyah, hingga tersinari oleh cahaya Robbaniyyah, dan melebur dalam Sifat Khayat-NYA. Kepada ALLAH penulis memohon ampun atas segaa kekurangan dan kekhilafan, kepada cerdik pandai mohon saran dan kritikan , dengan harapan sekelumit tulisan ini bermanfaan bagi penulis dan pembaca pada umumnya . Sholawat serta salam semoga tercurah kepada manusia sempurna kekasih ALLAH, Muhammad bin Abdullah beserta keluarga dan sahabatnya, yang menarik kita dibawah benderanya. DAFTAR PUSTAKA Muhammad Zaki Ibrahim, “ Tasawuf Hitam Putih “, Tiga serangkai,Solo, th 2004. Drs. Imron abu amar “ Disekitar masalah Thariqat”, Menara Kudus,1980. Drs.H.M .Laily Mansur,L.PH, “Ajaran dan teladan para sufi”,PT.Raja Grapindo Persada, Jakarta,1999 H.Alim Bahreisy, “Terjemah Al-Hikam”, Madya,Surabaya, th1984. Kiyahi Misbah bin Zainal Mustofa, “ Tarjamah Matan Khikam “, Wisma pustaka, Surabaya,Tt. Abu Khalid, MA, “ Kisah Teladan dan Karomah Para Sufi “, CV. Pustaka Agung Harapan,Surabaya, th 1998.

Nasionalisme dalam Islam

Nasionalisme dalam Islam

A. Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa awal abad XIX adalah masa kelahiran pemikiran baru dalam dunia Islam. Pemikiran baru itu ditandai dengan keinsafan umat Islam dan kesadaran bahwa di Barat telah lahir peradaban modern yang merupakan ancaman bagi dunia Islam.

Sederet pemikir Islam lahir pada masa itu, diantaranya ialah Rashid Rida yang hidup dalam generasi sesudah Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Shakib Arsalan, sebagaimana dikutip Ahmad al-Ashirbasi, menyatakan bahwa sejarah Islam tidak mungkin digambarkan dalam bentuk yang sebenarnya dan tidak mungkin bisa mencakup segala khazanah ilmu pengetahuannya, kecuali dengan menempatkan Rashid Rida pada posisi yang terhormat.

Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam melihat bahwa bobroknya kondisi masyarakat Islam pada waktu itu disebabkan oleh kolonialisme yang menjajah sebagian besar wilayah Islam serta sistem despotisme dalam pemerintahan raja-raja Islam. Di samping itu, dunia Islam pada umumnya dilanda kejumudan berfikir, yang membuat Islam tidak dapat tumbuh seiring dengan perkembangan dunia modern. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tujuan utama usaha bembaruan yang dilakukan pemikir-pemikir Islam, termasuk Rashid Rida, ialah membangun kembali tatanan masyarakat Islam berdasarkan demokrasi (al-Shura) dan mempertemukan ajaran Islam dengan dunia modern.

Tulisan ini akan membahas ide-ide pembaharuan Rashid Rida tentang Islam dan Nasionalisme. Dan sebelum sampai pada permasalahan tersebut, perlu digambarkan secara singkat bagaimana riwayat hidup Rashid Rida.

B. Riwayat Hidup

Rashid Rida, nama lengkapnya Sayyid Muhammad Rashid bin `Ali Rida bin Muhammad Shams al-Din al-Husayni al-Qalamuni, adalah seorang penulis, ahli hadith, sastrawan, sejarawan, dan mufassir. Ia lahir pada tanggal 23 September 1865 m. di kampung Qalamun yang terletak kurang lebih 3 mil dari Tripoli, Syria. Gelar sayyid pada permulaan namanya adalah gelar bagi semua yang mempunyai garis keturunan dengan Sayyid Husayn bin `Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Rasulillah SAW.

Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang dikenal dengan sebutan shaykh yang memiliki masjid tempat berkhalwat dan membaca. Kondisi yang sedemikian itu membentuk kepribadiannya menjadi seorang yang patuh kepada agama dan ia banyak belajar dari kakek dan ayahnya sendiri. Ia dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin, yang selalu menghabiskan waktunya untuk ilmu dan ibadah pada salah satu bagian masjid milik kakeknya, Shaykh Sayyid Ahmad. Ibunya bercerita bahwa semenjak Rashid dewasa, kami tidak melihatnya tidur, karena ia baru tidur sesudah kami tidur dan bangun sebelum kami bangun.

Di masa kecil, Rashid Rida belajar membaca al-Qur'an, menulis, dan berhitung pada al-Kuttab yang berada di kampungnya. Setelah tamat, ia dikirim orang tuanya ke Tripoli untuk melanjutkan studinya di al-Madrasah al-Rashidiyah yang mengajarkan Nahwu, Saraf, Aqidah, Fiqh, Berhitung, dan Ilmu Bumi dengan bahasa Turki sebagai bahasa pengantar.

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 h./1882 m., ia pindah ke al-Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping itu diajarkan bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh Shaykh Husayn al-Jisr, ia berpendapat bahwa umat Islam tidak akan maju kecuali dengan penguasaan ilmu agama dan ilmu keduniaan sekaligus, sesuai dengan metode modern Eropa, dan disertai pendidikan nasional Islam agar dapat sejajar dengan pendidikan asing pada sekalah-sekolah di Eropa dan Amerika. Di samping itu, sekolah ini dimaksudkan untuk menyaingi sekolah misi Kristen yang sedang bermunculan di Syria.

Tidak lama kemudian, pemerintah Uthmani menutup sekolah ini dengan alasan yang tidak jelas, sehingga Rashid Rida harus meneruskan studinya ke salah satu sekolah agama di Tripoli, namun ia tetap aktif menghadiri pengajian Shaykh al-Jisr di al-Madrasah al-Rahbiyah yang diselenggarakan dirumah Shaykh sendiri. Pada tahun 1897, Shaykh al-Jisr memberikan ijazah al-`Alim kepada Rashid Rida dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Dalam ijazah itu disebutkan bahwa Rashid Rida telah belajar selama delapan tahun, dan memperoleh ilmu manqul dan ma`qul.

Shaykh al-Jisr adalah seorang guru yang mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Rashid Rida, karena ia banyak memberi kesempatan kepada Rashid Rida untuk menulis di surat kabar yang ia pimpin. Makalah pertama yang ditulis Rashid Rida di Surat Kabar ini ialah makalah dengan tema Falsafah al-Akhlaq.

Disamping belajar kepada Shaykh al-Jisr, Rashid Rida juga belajar kepada beberapa guru, antara lain sebagai berikut;

1. Shaykh Mahmud Nashabah, seorang ahli hadith,

2. Shaykh Muhammad al-Qawiji, seorang ahli hadith,

3. Shaykh Abd al-Ghani al-Rafi`i, yang mengajarkan sebagian kitab

Nayl al-Awtar karya al-Shawkani,

4. al-Ustaz Muhammad al-Husayni,

5. Shaykh Muhammad Kamil al-Rafi`i.

Pada awalnya Rashid Rida adalah seorang sufi karena pengaruh buku Ihya' `Ulum al-Din karya al-Ghazali. Namun ia tidak sepenuhnya menyerap ajaran al-Ghazali, seperti ajaran Jabariyah, Ta'wil al-'Ash`ariyah dan al-Sufiyah, Zuhd yang berlebihan dan hal-hal yang berbau bid`ah. Akan tetapi setelah membaca al-`Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamal al-Din al-'Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar keseluruh dunia Islam, ia mengubah sikapnya yang berjiwa sufi menjadi seorang yang penuh semangat. Hal ini sesuai dengan pengakuannya sebagai berikut: "Dengan membaca al-`Urwah al-Wushqa, aku berpindah ke suatu jalan baru dalam memahami agama Islam, dengan keyakinan bahwa Islam bukan sekedar agama ruhani-ukhrawi semata, akan tetapi Ia adalah agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan duniawi, yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh".

Kalau semula usaha Rashid Rida hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan shari`ah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan zuhd, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kekaguman Rashid Rida kepada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut pada tahun 1885 m. untuk mengajar dan mengarang. Pertemuannya pertama kali dengan Muhammad Abduh terjadi ketika Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui Shaykh Abdullah al-Barakah, pengajar pada al-Madrasah al-Khanutiyah.

Dan pertemuan kedua terjadi juga di Tripoli pada tahun 1894 m. Pada waktu itu Rashid Rida bisa menemui Muhammad Abduh sepanjang hari, sehingga banyak permasalahan yang yang bisa ditanyakan. Sedangkan pertemuan yang ketiga terjadi pada tahun 1897 di Kairo dan ia memutuskan untuk menetap di sana. Setahun kemudian ia menerbitkan Majalah al-Manar, yang di dalamnya tertuang ide-ide pembaruannya dan ide-ide Muhammad Abduh. Ide-ide terebut pada akhirnya disusun sehingga menjadi Tafsir al-Manar. Muhammad Fathi Uthman menyatakan bahwa motivasi Rashid Rida dalam menulis tafsirnya ialah untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan kaum muslimin. Kelemahan-kelemahan itu ialah pertama, kebodohan dan ketidakahuan kaum muslimin akan al-Qur'an yang mengadung ajaran yang sesuai dengan kehidupan sosial dan politik. Dan kedua, ketidaktahuan mereka bahwa untuk memahami al-Qur'an harus menggunakan akal dan hati.

Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga tokoh, yaitu Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rashid Rida. Tokoh pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua, gagasan-gagasan itu dicerna, diterima, dan diolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan diterima oleh, antara lain tokoh ketiga yang kemudian ditulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

Dengan demikian, Tafsir al-Manar lebih cocok untuk dinisbatkan kepada Rashid Rida, karena di samping lebih banyak yang ditulisnya, dalam penafsiran al-Fatihah dan al-Baqarah serta al-Nisa' terdapat pendapat-pendapatnya dengan menulis kata aqulu. Di samping Tafsir al-Manar, ia menulis sekian banyak buku, antara lain sebagai berikut:

1. al-Hikmah al-Shar`iyyah fi Muhakamat al-Qadiriyah wa al- Rifa`iyyah,

2. Tarikh al-Ustazh al-Imam,

3. Nida' li al-Jins al-Latif,

4. al-Wahy al-Muhammadi,

5. al-Manar wa al-Azhar, dll.

Di samping menulis, Rashid Rida juga aktif dalam kegiatan kegiatan politik. Ia menghadiri konferensi Islam di Makkah tahun 1926 m. dan di Jerussalem tahun 1931 m. Sebagaimana Muhammad Abduh, ia selalu mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan dinasti Muhammad `Ali di Mesir, walaupun dinasti ini berjasa kepada Rashid Rida dalam mendirikan Madrasah al-Da`wah wa al-Irshad. Ia juga memainkan peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan politik Syria dari kekuasaan Turki Muda. Rashid Rida juga aktif dalam perundingan peperangan dengan Inggris, ia pernah menjabat Presiden Kongres Syria tahun 1920, sebagai anggota delegasi Syria-Palestina di Genewa tahun 1921, dan sebagai anggota Komite Politik di Kairo selama pemberontakan Syria tahun 1925-1926.

Pada tanggal 22 Agustus 1935, dalam perjalanan pulang dari kota Suez, Mesir, setelah mengantar pangeran al-Sa`ud bin Abd al-Aziz, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan.

C. Islam dan Nasionalisme Menurut Rashid Rida

Secara umum pandangan Rashid Rida tentang Islam bertolak dari masalah mengapa umat Islam mundur dalam segala segi peradaban. Ia melihat bahwa kemunduran itu terjadi karena ketidak mampuan umat Islam memadukan antara ajaran-ajaran spiritual agamanya dengan masalah kemakmuran duniawi, padahal ajaran Islam mencakup kedua hal tersebut. Jika ajaran Islam dipahami dan ditaati sebaik-baiknya, umat Islam akan memperoleh kekuatan, kehormatan, peradaban tinggi, dan kesejahteraan. Ringkasnya, Umat Islam akan menjadi jantung peradaban dunia selama mereka menjadi muslim yang sebenarnya.

Menurut Rashid Rida, ada sesuatu yang hilang dari pangkuan umat Islam, yaitu etos jihad. Jihad yang dimaksud ialah usaha dinamis dan hal itu terdapat pada ajaran Islam. Umat Islam harus bersikap aktif, berusaha keras dan rela memberi pengorbanan harta dan jiwa, demi mencapai cita-cita perjuangan. Etos inilah yang membawa umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia. Akan tetapi sekarang, yang memiliki sikap dinamis ini adalah orang-orang Eropa. Oleh karena itu, mereka mampu menaklukkan alam, mereka rela mengorbankan hidup dan harta demi bangsanya. Di samping itu, mereka memiliki kesetiaan yang tak seorang pun dari mereka berani menghianatinya. Kondisi yang sedemikian itu sebenarnya juga dapat dimiliki umat Islam kembali, tetapi dengan cara yang berbeda dengan Barat. Jika orang Barat aktif dan dinamis karena melepaskan agama mereka dan menggantikannya dengan prinsip kebangsaan, maka umat Islam dapat memperolehnya dari ajaran agamanya sendiri.

Dalam memahami asabiyah, Rashid Rida berbeda dengan Ibn Khaldun. Ia menolak penafsiran Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa asabiyah relevan dengan misi kenabian meskipun ditopang oleh aturan hukum (shari`ah). Menurut Rashid Rida bahwa Khalifah harus didasarkan atas kesadaran beragama bukan atas dasar asabiyah.

Walaupun Rashid Rida mengakui kemajuan peradaban Barat, ia tidak setuju dengan faham sekuler Barat, yaitu pemisahan agama dari rasa kebangsaan. Menurut Rashid Rida, umat Islam tidak perlu meniru Barat dalam faham kebangsaan ini, karena dalam Islam rasa kebangsaan itu justru dibangun di atas dasar keagamaan. Dalam hal ini, ia memahami kebangsaan atau nasionalisme tidak dalam arti kesamaan etnis, akan tetapi dalam arti suatu umat yang sama agamanya, yakni umat Islam. Kemungkinan ia menghidupkan konsep itu sebagai reaksi terhadap nasionalisme yang dibawa oleh Napoleon, yang pengaruhnya mewarnai negara-negara Islam pada waktu itu.

Sejalan dengan konsep tersebut, Rashid Rida menginginkan kesatuan dunia Islam. Untuk itu ia mengharapkan kepemimpinan Turki Uthmani, akan tetapi ketika Turki Uthmani runtuh, harapannya dialihkan pada kerajaan Ibn al-Sa`ud. Ia juga menganjurkan pembentukan organisasi al-Jam`iyah al-Islamiyah di bawah naungan Khalifah, berdasarkan prinsip persaudaraan Islam yang menghapuskan ikatan-ikatan rasial dan menyusun peraturan untuk segenap kaum muslimin dalam suatu komunitas.

Konsep kebangsaan tersebut mendapat reaksi keras dari golongan nasionalisme Mesir. Muhammad Farid, salah seorang pemimpinnya pernah mengecam Rashid Rida dengan pernyatannya bahwa Rashid Rida tidak menghormati bangsa lain dimana ia hidup di tengah-tengahnya.

Menanggapi kecaman ini, Rashid Rida berkata bahwa larangan yang dia maksud ialah usaha menggerakkan asabiyah jahiliyah terhadap diri saya, yakni asabiyyah rasial, dan dia bukanlah orang Mesir. Dan sebelumnya ia pernah berkata: "Hendaklah para propagandis asabiyah jahiliyah Mesir sadar dan merenungkan kembali bahwa asabiyah ini adalah salah satu pertanda kehancuran, bukan pertanda kebangkitan. Seandainya pendahulu-pendahulu kita memiliki sifat asabiyah ini, maka mereka tidak akan memperoleh kemajuan ilmu dan peradaban seperti yang pernah mereka capai. Menurut Rashid Rida, Islam melarang permusuhan di kalangan umat Islam, baik yang timbul lantaran adanya perasaan ikatan kelompok, negara, ataupun wilayah tempat tinggal, karena hal itu bertentangan dengan persaudaraan atas dasar keagamaan.

Namun demikian, konsep nasionalisme Rashid Rida tidak mengabaikan perlunya bekerja sama dengan kelompok non Islam. Hal ini tergambar dalam ungkapannya ketika menjawab pertanyaan dari salah satu pejuang Islam di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tipe patriotisme yang harus dimiliki oleh pemuda-pemuda muslim ialah bahwa ia harus menjadi teladan yang baik bagi rakyat di negaranya, apapun agamanya, bekerja sama dalam berbagai macam kegiatan yang syah demi mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan kekuatan. Akan tetapi, dalam pembelaan tanah air dan bangsanya itu, ia tidak boleh melalaikan ajaran Islam.

Dalam rangka mempertahankan keutuhan dunia Islam, Rashid Rida memandang bahwa kerajaan Uthmani harus dijadikan sebagai lambang kedaulatan Islam dan Khilafah. Ia, sama halnya dengan gurunya Muhammad Abduh, tidak mempermasalahkan gelar sultan Uthmani ataupun Khilafah, dan juga tidak pernah mendukung seruan untuk membangun Khilafah Arab. Menurutnya, Uthmaniyah adalah suatu kebangsaan yang beraneka ragam agama dan bahasanya. Ia menolak pendapat Barat yang meletakkan karateristik suatu bangsa pada kesamaan bahasanya, dengan menegaskan bahwa kita tergantung atas sikap kita untuk meninggalkan pendapat orang Barat tentang kebangsaan, dan menyepakati bahwa ciri kebangsaan kita ialah Uthmaniyah. Dan saya mengira bahwa tidak satu unsur pun yang berada di bawah panji Dawlah Uthmaniyah akan membuang pandangan ini, lalu menyetujui istilah Eropa tentang kebangsaan itu.

Sultan Uthmani diakui Rashid Rida sebagai pemimpin aktual dunia Islam, sebagai pemerintahan muslim yang terkuat. Namun pemerintahan muslim lainnya juga diakui eksistensinya sebagai negara bagian (Component States) dari konfederasi bersama Uthmani. Dukungannya terhadap kerajaan Uthmani sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa Uthmani pada saat itu merupakan Khilafah Islam yang masih bertahan. Ketika Inggris berusaha untuk membagi-bagi wilayah Uthmani menjadi beberapa negara merdeka, Rashid Rida menyampaikan maklumat kepada Perdana Menteri Inggris, Lioyd George, bahwa kaum muslimin tidak akan puas jika Inggris hanya membantu mempertahankan sebuah negara Turki murni bekas kerajaan Uthmani, sebagai lambang Khilafah. Tidaklah mungkin memisahkan Khilafah dari tempat-tempat suci, yang semuanya berada di propinsi-propinsi Arab yang juga ingin membangun kemerdekaannya masing-masing.

Menurut Rashid Rida, usaha untuk menghapus kerajaan Uthmani bertujuan untuk menghapus Khilafah Islam. Baginya, Khilafah itu harus dipertahankan keberadaannya, jika umat Islam ingin tetap bersatu dan mempunyai kekuatan. Ia menilai bahwa pendapat yang ingin menghapus Khilafah, sebagaimana yang diinginkan oleh Ali Abd al-Raziq, merupakan usaha untuk membantu musuh-musuh Islam. Usaha untuk membangun Khilafah baru menggantikan kerajaan Uthmani merupakan keinginan dari luar, dan hanya akan melayani kepentingan orang-orang dari luar. Namun, pada akhirnya pandangan Rashid Rida berubah karena asabiyah Turki mulai terasa dan orang-orang Turki bersikap zalim terhadap orang-orang Arab.

D. Penutup

Nasionalisme menurut Rashid Rida harus didasarkan atas kesamaan agama, yakni agama Islam, bukan kesamaan etnis dan bahasa. Akan tetapi, ia tidak mengabaikan kerja sama dengan golongan non Islam dengan syarat tidak melalaikan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia menginginkan Khilafah harus tetap dipertahankan untuk menggalang kekuatan dan mempersatukan umat Islam.r

POLISI DALAM ETIKA

Kepolisian adalah suatu lembaga yang dimiliki setiap negara dan dibutuhkan sebagai salah satu sistem yang menangani masalah keamanan dalam negeri, sebagaimana kepolisian yang ada disemua negara, Polri memiliki peran yang penting dalam mengemban tugas disamping sebagai pemelihara kamtibmas dan penegakan hukum, juga sebagai pelayan masyarakat dibidang pengamanan (Social Security Service) (Suhardi, 2004: 1) .

Dalam tugasnya Polri berinteraksi langsung dengan masyarakat karena personil Polri merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri , yang harus menjaga hubungan baik secara individu atau kelompok, intern maupun ekstern. Hubungan antara individu dalam masyarakat terdapat norma yang tidak tertulis atau orang menyebutnya dengan etika. Istilah etika juga dapat diartikan sebagai kode moral (Syukur, 2004: 1), maka kode moral dapat disebut kode etik, walaupun secara etimologi memiliki arti yang berbeda namun dalam pengertian sama- sama mengarah pada perilaku baik atau buruk yang dilakukan manusia.

Etika berkaitan dengan sesuatu yang secara moralitas benar atau salah, dan etika dianggap secara moral yang ditentukan oleh suatu kelompok dalam masyarakat, (Fahry, 1996: XV) menyatakan bahwa etika merupakan gambaran rasional tentang hakikat dan dasar perbuatan yang secara moral diperintahkan atau dilarang. Menurut Frans Magnis Suseno etika dipahami sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik, dan sumber langsung ajaran moral dapat berupa agama (Suseno, 1987: 14). Sebagaimana moral, dalam setiap agama juga terdapat perintah dan larangan, dan disitu terdapat keyakinan bahwa balasan surga atau neraka akan diperoleh karena melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama, ataupun sebaliknya.

Polri memiliki kode etik profesi, yang menjadi pedoman anggota Polri dalam melaksanakan tugas. Kode etik menurut Franz Magnis suseno sebagaimana dikutip oleh Jendral (Purn) Kunarto dalam buku ” Etika Kepolisian ” adalah kumpulan Inti-inti Etika (Kunarto, 1997: 106). Sesuai keputusan Kapolri No.Pol:Kep / 32 / VII / 2003 bahwa secara garis besar kode etik profesi berisi tentang etika pengabdian, etika kelembagaan dan etika kenegaraan. Dalam etika pengabdian terdapat penanaman etika yang berlandaskan nurani dan niat Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Islam batasan antara baik dan buruk dalam perilaku disebut dengan akhlaq, dan akhlaq ini merupakan cerminan dari ketaqwaan seseorang, taqwa menjadikan seseorang enggan melaksanakan perbuatan yang melanggar norma-norma agama, seseorang yang mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah akan mendapat predikat Muttaqin (Yusuf, 1986: 68-69).

Demikian juga jika seorang Polisi memiliki ketaqwaan maka pelaksanaan tugas akan selalu sejalan dengan nilai keagamaan, dan sedapat mungkin terhindar dari penyalahgunaan wewenang, serta menjadikan tugas sebagai salah satu nilai ibadah. Pengabdian merupakan sesuatu yang sangat mendasar yang menjadikan Polri memiliki nilai kejuangan untuk bangsa dan negara bahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan, karena pengabdian kepada Tuhan tidak semua berupa hubungan dengan Tuhan namun juga dengan manusia. Pengabdian kepada manusia merupakan manifestasi pengabdian kepada Tuhan. Tugas pengabdian Polri berdasarkan pada kode etik profesi Polri.

Walaupun Polri telah memiliki kode etik profesi yang tertuang dalam Keputusan Kapolri no 32 tahun 2003, tetapi masih banyak personil polri yang belum menghayati bahkan menyimpang. Kode etik Polri sebenarnya merupakan aturan untuk membentuk citra Polri yang ideal. Namun ternyata banyak kasus yang menunjukkan tidak dipatuhinya etika Kepolisian oleh personil Polri, hal ini mendorong diadakan penelitian, untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan kode etik Polri.

Setelah penulis melakukan penelusuran, ditemukan beberapa Penulisan yang membahas tentang etika Kepolisian, diantaranya ”Etika Kepolisian” ditulis oleh Kunarto namun masih terkait dengan ABRI (Saat itu tahun 1996 Polri masih dibawah ABRI). Kunarto (1997: 20) menerangkan tentang beberapa dasar-dasar etika umum, juga kode etik Polri termasuk suatu yang mendasar yakni tentang perasan (nurani). Karena tugas Polisi adalah tugas kemanusiaan, yang mana harus lebih mengedepankan perasaan (nurani). Kunarto menulis Polisi dan masyarakat merupakan saduran dari hasil seminar Persatuan Kepala Polisi Asia Pasifik Ke-6 di Taipe 11-14 Januari 1998. Etika Kepolisian dibahas oleh Mr. Neil G.O. Loughlin seorang Kepala Kepolisian Victoria Australia. Disitu diceritakan standar etika dan kelakuan buruk Polisi, karena kewenangan Polisi berpotensi timbulnya penyalahgunaan wewenang (Kunarto, 1998:65) [1]. Police Deviance ditulis oleh Thomas Barker, Jackson Ville State University dan David L Carter diterjemahkan oleh Kunarto dalam bukunya berjudul penyimpangan Polisi, menyatakan tentang penyalahgunaan wewenang oleh Polisi dan beberapa perilaku yang menyimpang seperti korupsi, kejahatan susila dan penggunaan obat terlarang (Kunarto, 1999: 91-147).

Peter Villiers (1999) dalam buku Better Police ethics a practical guide secara umum menerangkan dasar kode etik Polisi, contoh-contoh kasus penyalahgunaan wewenang seperti korupsi atau intimidasi kepada tersangka yang sedang menjalani proses penyidikan, maupun tindakan yang bijak dari Polisi , Peter mengulas sedikit tentang agama sebagai landasan moral dalam beretika [2].

Anton Tabah dalam bukunya Membangun Polri yang Kuat menulis contoh penyimpangan penembakan oleh seorang Perwira Polri di Polres Metro barat (Iptu Tasman Manurung) kepada 3 orang temannya, 2 orang tewas dan 1 orang luka parah (Tabah , 2001: 57) dan banyak lagi penyimpangan oleh oknum anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya atupun dalam kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat.

Dari hasil buku-buku diatas telah dipaparkan etika Kepolisian dan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Polisi, namun penulis belum menemukan adanya penelitian secara khusus tentang Implementasi Kep. Kapolri No.Pol : Kep/32/VII/2003 yang memuat kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Untuk mencapai tujuan penelitian diperlukan metode yang sistematis, karena metode penting dalam sebuah penulisan.

ETIKA PENGABDIAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Memahami tentang etika pengabdian Polri maka perlu dikupas pengertian tentang etika, pengabdian dan Polri. Ketiga kata tersebut menjadi salah satu kata kunci keberhasilan tugas Polri. Etika dalam melaksanakan tugas dan pengabdian berfungsi sebagai dasar dalam setiap penugasan.

1. Etika, moral dan akhlak

Sering mendengar istilah etika, moral dan akhlak yang sekilas memiliki kesamaan dalam pegertian, namun jika dilihat dari asal usul kalimatnya jelas berbeda, walaupun secara harfiah memiliki arti yang berbeda namun dalam pengertian sama - sama mengarah pada perilaku baik atau buruk yang dilakukan manusia

a. Etika

Banyak ilmuwan mendefinisikan etika, sebagian berpendapat bahwa etika menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani ”etos ” yang artinya kebiasaan, adat, sikap (Kunarto, 1997: 106) Etika dirumuskan oleh K. Bertens (1994: 4) yaitu ilmu yang membahas tentang adat, kebiasaan moral; dan tingkah laku moral, etika merupakan tingkah laku sendiri yang berlaku tanpa orang lain, bersifat absolut yang berasal dalam diri manusia itu sendiri. Sebagian lagi mengartikan Istilah etika sebagai kode moral (Syukur, 2004: 1), sedangkan kode moral dapat disebut kode etik Kode etika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya. Etika berkaitan dengan sesuatu yang secara moralitas benar atau salah, dan etika dianggap secara moral ditentukan oleh suatu kelompok dalam masyarakat, Majid Fahry (1996: XV) menyatakan bahwa etika merupakan gambaran rasional tentang hakikat dan dasar perbuatan yang secara moral diperintahkan atau dilarang. Frans Magnis Suseno (1987: 14) memahami etika sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik, adapun sumber langsung ajaran moral, dapat berupa agama. Sebagaimana nilai moral dalam setiap agama juga terdapat perintah dan larangan, maka baik dan buruknya perilaku sesuai dengan ketaatan dalam menjalankan perintah dan ketaatan dalam menjauhi larangan.

Ahmad Amin (1986: 2-10) etika dapat disimpulkan memiliki tiga kedudukan :

1) Etika sebagai ilmu, merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang.

2) Etika sebagai perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu berbuat kebajikan, dan tidak etis jika berbuat yang tidak baik.

3) Etika sebagai falsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

Atau terdapat istilah descriptiptive ethics, normative ethics dan philosophy ethics. dengan pengertian:

1) Descriptive ethics, adalah gambaran-gambaran atau lukisan tentang etika.

2) Normative ethics, merupakan norma-norma tertentu tentang etika agar seseorang dapat dikatakan bermoral.

3) Philosophy ethics, adalah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran. Artinya mencari keterangan yang benar, ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk bagi tingkah laku manusia, serta ingin mencari norma-norma, ukuran-ukuran mana susila itu, tindakan mana yang dianggap paling baik (Wursanto, 2003: 17).

b. Moral

Moral secara etimologis dari kata mores berasal dari bahasa Latin, kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan" berarti adat kebiasaan atau susila. Jadi moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi kesatuan sosial / lingkungan tertentu dan moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita hidup secara baik sebagai manusia, yang didalamnya terdapat aturan-aturan bagaimana bertindak dengan baik sebagai manusia dan menghindari perilaku yang tidak baik (Salam, 1997: 3). Dalam kehidupan sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun, dan perilaku. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi norma kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik, su dalam bahasa jawa kuno berarti baik, sila berarti dasar-dasar atau prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup maka susila diartikan sebagai prinsip prinsip kebaikan.

c. Akhlak

Perilaku manusia juga disebut dengan akhlak , yang berasal dari bahasa Arab ”akhlaq” berarti kebiasaan, sedang akhlak sendiri memiliki pengertian yang hampir sama dengan moral [3], banyak orang berasumsi adanya kesamaan definisi antara moral, etika dan akhlak, secara etimologi ketiganya berasal dari bahasa yang berbeda sehingga memiliki pengertian yang berbeda, namun memiliki aspek yang sama yaitu mengenai baik dan buruknya perilaku manusia.

2. Pengabdian

Kata abdi berasal dari bahasa Arab ”Abdun” yang berarti hamba. Seorang hamba pasti memilki majikan (tuan) maka Abdi merupakan tugas penuh seorang pelayan kepada majikannya, dalam kehidupan sehari-hari hamba harus selalu menjaga etika kepada majikannya, agar terjalin hubungan yang baik antar keduanya, dalam hal ini Polisi bertindak sebagai pelayan masyarakat sesuai dengan dasar Kode etik Polri dalam Tri brata pada brata I ”Rastra Sewa Kottama” yang berarti abdi utama dari pada Nusa dan Bangsa (Mabes, 1999: 127) sebagaimana yang dikatakan oleh S.A. Suhardi (2004: 28) yaitu dituntut memiliki kerendahan hati, sebagai komitmen dasar kepribadian dan sadar bahwa dirinya adalah pelayan ” the essence of correct police attitude is willingness to serve ”, bahwa perilaku yang terbaik bagi polisi adalah kemauan memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat. Pengabdian yang diberikan oleh Polisi berkaitan dengan tugas-tugas Kepolisian yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Perubahan paradigma Polri yang pada masa lalu merupakan alat penguasa menjadi abdi bagi masyarakat , yang harus menjiwai perilaku sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, mempunyai pengertian :

a. Pelindung

Memberikan seluruh kemampuannya untuk melindungi masyarakat agar terbebas dari perasaan takut, dan dari bahaya, hingga tercipta rasa aman dan tentram .

b. Pengayom

Dengan segala kemampuannya menebarkan suasana yang kondusif, dengan pesan-pesan kamtibmas serta ajakan untuk membentuk lingkungan yang harmonis.

c. Pelayan

Setiap saat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat , dengan etika, sopan santun, dan saling menghargai (Mabes, 2007: 14).

Etika Kepolisian merupakan ukuran baik dan buruknya perilaku polisi, sehingga personil yang bertindak tidak sesuai dengan etika tersebut bertarti melanggar etika. Baik dan buruknya tugas tergantung dengan baik atau tidaknya etika kepolisian. Karena etika Kepolisian hanya mengikat pada lingkungan Polisi, maka jika ada orang (bukan Polisi) yang melakukan tugas utama polisi meskipun sesuai dengan etika kepolisian seperti penyidikan, penahanan dan penggeledahan , maka dianggap tidak baik atau tidak etis karena bukan porsinya.

3. Kepolisian

Secara umum Kepolisian merupakan salah satu alat negara yang bertugas menangani keamanan dalam negeri khususnya berkaitan dengan penegakan hukum. Dalam undang – undang RI nomor 2 tahun 2002 bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Di Indonesia lembaga ini dikenal dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri, yang dalam undang – undang RI nomor 2 tahun 2002 bab I pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Karnadi, 2002: 3 dan 6).

Dasar – dasar etika

Ukuran baik dan buruknya etika dilihat dari tujuan etika itu sendiri, dan dasar etika dapat menurut ajaran agama (Teologis), adat kebiasaan (Traditionalisme), hedonisme (kebahagiaan), bisikan hati (intuisi), evolusi, utilitarisme, eudaemonisme, pragmatisme, positivisme, naturalisme, vitalisme, idealisme, eksistensialisme, marxisme, komunisme, kriteria perbuatan baik atau buruk secara singkat akan diuraikan di bawah ini sebatas berbagai aliran atau faham berkembang sampai saat ini. Masing-masing, personil Polri pada umumnya melakukan macam-macam etika ini tergantung apa yang menjadi tujuannya dalam melaksanakan tugasnya, maka perlu penulis kemukakan beberapa dasar etika.

1. Teologis (Agama)

Aliran ini mengajarkan bahwa kebaikian yang abadi dan mutlak adalah Tuhan. Tuhan merupakan penentu kebaikan karena diri-Nya sendiri merupakan kebaikan (Kattsoff, 1992:371-373) Tuhan adalah sumber dari agama yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik sesuai dengan ajaran agama. Di Indonesia ada beberapa agama yang diantaranya Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, maka pantaslah jika etika Polri dipadukan dengan agama yang ada. Sedang mayoritas anggota Polri adalah pemeluk Islam layaklah dirumuskan perpaduan etika Polri dengan etika Islam.

2. Tradisionalisme

Tradition berarti kebiasaan atau adat istiadat, menurut ajaran ini baik atau tidak dinilai dari adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu, dan apa saja yang menentangnya dianggap tidak baik (Salam, 1996:82), seperti pepatah Arab yang mengatakan Tarku al-adah adawah yang berarti meninggalkan adat adalah musuh .

3. Kebahagiaan (Hedonisme)

Semua tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan. Dalam faham ini memiliki tiga sudut pandang yaitu (1) hedonisme individualistic / egoistik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) hedonisme rasional / rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang mempunyai tolok ukur suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk (Vos, 2002 : 161-167).

4. Bisikan Hati (Intuisionisme)

Aliran ini menyatakan bahwa kekuatan batin yang dapat mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu. Faham ini merupakan bantahan terhadap faham hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini adalah keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai kebaikan budi pekerti. instutisi ini sebenarnya dimiliki oleh seluruh masnusia, termasuk anggota Polri dimana mereka memiliki suara hati, bahwa pada saat melakukan hal yang tidak sesuai dengan kebaikan atau aturan sebenarnya hatinya tahu bahwa itu tidak baik (Salam, 1996 : 80-81). Karena didalam batin manusia ada dua suara kecenderungan baik dan buruk, dan ia tahu bahwa yang dilakukan baik atau buruk (Amin, 1975: 69).

5. Evolusi

Aliran ini memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (secara berangsur-angsur) mengalami perubahan yaitu berkembang menuju kearah kesempurnaan. Dengan mengadopsi teori Charles Robert Darwin (1809-1882)[4] yang mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan segala yang ada di alam ini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar nilai) dipandang sebagai buruk (Mudhofir, 1988: 27).

6. Eudemonisme

Aliran ini memiliki prinsip pokok kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah (Vos, 2002: 168-176). Jika semua Polisi memiliki paham ini mungkin akan tercipta Polisi yang bersih dan berwibawa, karena baik menurut diri dan orang lain.

7. Altruisme

Paham ini menititkberatkan pada hal-hal yang berguna bagi orang lain baik yang bersifat moral maupun material. Dan berprinsip mengutamakan oranglain, walaupun dirinya sendiri menderita atau menanggung rugi (Salam , 1997: 82 )

8. Naturalisme

Paham ini mempunyai ukuran baik atau buruk yang terkait dengan fitrah manusia. Apabila sesuai dengan keadaan alam, maka itu dikatakan baik. Sedangkan apabila tidak alami dipandang buruk. Bahkan kemajuan, pengetahuan dan kebudayaan itu tidak baik jika menjadi perusak alam semesta (Yusuf, 1986:148-150).

9. Vitalisme

Aliran ini merupakan sanggahan pada aliran naturalisme karena menurut faham ini yang menjadi ukuran baik dan buruk itu bukan alam tetapi vitae atau hidup (yang sangat diperlukan untuk hidup). Aliran ini terdiri dari dua kelompok yaitu (1) vitalisme pessimistis (negative vitalistis) dan (2) vitalisme optimistime. Kelompok pertama terkenal dengan ungkapan homo homini lupus artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Sedangkan menurut aliran kedua perang adalah halal, sebab orang yang berperang itulah (yang menang) yang akan memegang kekuasaan. Tokoh terkenal aliran vitalisme adalah F. Niettsche yang banyak memberikan pengaruh terhadap Adolf Hitler pemimpin Nazi Jerman (Vos, 2002: 197-202 ).

10. Aliran Idealisme

Sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia sebab pikiran manusialah yang menjadi sumber ide. Ungkapan terkenal dari aliran ini adalah segala yang ada hanyalah yang tiada sebab yang ada itu hanyalah gambaran/perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan). Sebaik apapun tiruan tidak akan seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang baik itu hanya apa yang ada di dalam ide itu sendiri (Vos, 2002:203-210). Maka ide itu perlu dipertahankan karena baik, dan ide harus dilaksanakan karena akan muncul hal yang baik, dan banyak anggota Polri yang idialis dalam melaksanakan tugas berbenturan dengan yang lain, karena berbeda ide.

11. Aliran Marxisme

Berdasarkan “Dialectical Materialsme” yaitu segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Aliran ini memegang motto “segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan”. Jadi apapun dapat dipandang baik asal dapat menyampaikan / menghantarkan kepada tujuan, namun didalam mencapai tujuan dianjurkan untuk bekerja sama dan tidak adanya kelas dalam masyarakat (Vos, 2002: 189-196).

Beberapa dasar etika diatas dapat memperngaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat, termasuk angota Polri.

Tugas dan wewenang Polri

Dalam Undang-undang RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian negara Republik Indonesia pada bab III pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum adalah:

1. Memelihara hukum; dan

2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Mabes, 2002: 9)

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam pasal 18 ayat (2) Polisi harus memperhatikan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia . Dalam pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Mabes, 2002: 15).

Dengan demikian norma etika harus selalu dipegang oleh personil Polri dalam bertindak selaku pemelihara dan penegak hukum serta sebagai Pelindung, Pengayom dan Pelayan masyarakat. Disinilah nilai pengabdian yang terkandung dalam peran Polri, dan pengabdian memiliki etika sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Kapolri No.Pol: Kep / 32 / VII / 2003.

Etika Pengabdian ( dalam Kep. Kapolri No.Pol: Kep / 32 / VII / 2003 )

Etika pengabdian yang termuat dalam Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/32/VII/2003 yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 2003 tentang Kode Etik Polri Kode Etik Polri meliputi tujuh pasal, yang masing-masing pasal adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1

Bahwa anggota Kepolisian negara Republik Indonesia senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya berperilaku :

a. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Menjalankan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni karena kehendak Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya

c. Menghormati acara keagamaan dan bentuk-bentuk ibadah yang dselenggarakan masyarakat dengan menjaga keamanan dan kekhidmatan pelaksanaannya.

2. Pasal 2

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nuisa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan :

a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya

b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia

c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan dan seluruh waktu.

d. Rela berkorban jiwa dan raga untuk bangsa Indonesia

3. Pasal 3

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum selalui menunjukkan sikap perilaku terpuji dengan :

a. Meletakkan kepentingan negara, bangsa masyarakat dan kemanusiaan diatas kepentingan pribadinya.

b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan terhadap semua warga negara dan masyarakat

c. Menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perorangan serta menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dan pelaksanaan tugas.

4. Pasal 4

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas penegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :

a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;

b. Tidak memihak;

c. Tidak melakukan pertemuan diluar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait perkara ;

d. Tidak memplubikasikan nama terang tersangka dan saksi

e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;

f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan penyelesaian perkara ;

g. Menunjukan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaanya karena terkait dengan penyelesaian perkara ;

h. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan sesama pejabat negara dalam sistem peradilan pidana ;

i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.

5. Pasal 5

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa :

a. Memberikan pelayan terbaik ;

b. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama ;

c. Mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit ;

d. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak / arogan karena kekuasaan;

e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang ;

f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur ;

g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam pengaturan perundang-undangan ;

h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang ;

i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas bantuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat ;

6. Pasal 6

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya senantiasa berdasarkan pada norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.

(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan perlu dirahasiakan

7. Pasal 7

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan ;

b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas ;

c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat ;

d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan / pertolongan ;

e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;

f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan maratabat perempuan ;

g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur ;

h. Merendahkan harkat dan martabat manusia[5].

Pasal-pasal diatas adalah etika pengabdian yang dimiliki oleh Polri, dan etika tersebut merupakan norma yang harus ditaati oleh anggota Polri. Norma dibuat untuk dilaksanakan, namun jika tidak terimplementasi dalam seuatu lembaga maka tidak ada pengaruh dan manfaatnya, karena itu perlu melakukan evaluasi yang berkelanjutan untuk mengetahui penerapan norma tersebut.

Sanksi / hukuman pelanggaran kode etik

Jika terjadi pelanggaran pada kode etik Polri akan dikenakan hukuman sebagaimana diatur dalam PP nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan disiplin[6] anggota Polri dalam pasal 9 berupa :

1. Teguran tertulis

2. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun

3. Penundaan kenaikan gaji berkala

4. Pembebasan dari jabatan

5. Mutasi yang bersifat demosi[7]

6. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari ( PP no 1 2003 pasal 11 )

7. PTDH ( Pemberhentian tidak dengan hormat ) apabila :

a. Melakukan tindak pidana

b. Melakukan pelanggaran

c. Meninggalkan tugas atau hal lain[8]

Tugas dan wewenang Polri yang diatur dalam undang undang diatur pula dengan kode etik sehingga jika penerapan tugas sesuai dengan kode etik, keberhasilan tugas Polri akan dicapai, termasuk pemberian sanksi terhadap para pelanggar kode etik Polri.

Pemberian sanksi atau hukuman ini merupakan shock terapi bagi anggota Polri yang lain agar tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dari etika Polri yang sudah di tentukan, demi terwujudnya citra Polri yang semakin baik dan dicintai masyarakat.

Kondisi sebelum dan sesudah Reformasi

Asalnya Kode etik Kepolisian berupa aturan untuk membina disiplin mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) yang disebut dengan Tri Brata yang diikrarkan pertama kali pada upacara wisuda angkatan II tanggal 3 Mei 1954, kemudian pada tanggal 1 Juli 1955 ditetapkan sebagai pedoman bagi para personil Polri.

Pada masa Kapolri Anton Sujarwo tanggal 1 Juli 1985 bertepatan dengan HUT Bhayangkara yang ke 39 nilai-nilai Tribrata dinyatakan sebagai Kode etik Polri (Mabes, 1999:126-129) dan selanjutnya naskah ini disebut dengan naskah ikrar kode etik Polri. Ketika berlaku undang-undang no 28 tahun 1987 mempersyaratkan adanya kode etik Polri, maka tanggal 1 Maret 2001 diterbitkan buku petunjuk administrasi komisi kode etik profesi Polri.

Kode etik tersebut di berikan sebagai kurikulum di dalam lembaga pendidikan Kepolisian, dan pada kewilayahan sebagai pedoman tugas. Namun belum diadakan sosialisasi secara detail dalam bentuk arahan tentang keberadaan Kode etik tersebut. Penyampaiannya melalui surat atau telegram yang disampaikan pada masing-masing kesatuan, dan disampaikan pada anggota melalui jam[10] pimpinan.

Pada tanggal 1 Juli 2003 bertepatan dengan HUT Bhyangkara yang ke 57 sesuai dengan kep Kapolri/32/VII/2003 ditetapkanlah kode etik Polri sebagai pegangan personil Polri dalam mengemban tugasnya. Kode etik tersebut terbentuk dalam 5 bab dan 20 pasal yang meliputi etika pengabdian, etika kelembagaan, etika kenegaraan, dan penegakan kode etik Polri.

Sebelum reformasi bergulir citra Polri sangat buruk dimata masyarakat. Hal tersebut karena penyimpangan perilaku yang dilakukan anggota Polri ( walaupun tidak semua).

Tahun 1995 ketika penulis selesai melaksanakan pendidikan dan ditempatkan di Polres Kendal, penulis banyak menyaksikan berbagai macam penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kode etik Polri. Beberapa perilaku tersebut contohnya melakukan pungli (pungutan liar) kepada sopir truk dipangkalan TPR (tempat pembayaran restribusi) yang ada di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh dan Desa Gondang Kecamatan Cepiring. disitu terlihat para oknum terlihat dengan jelas ketika truk melewati tempat pembayaran restribusi, oknum tersebut berdiri + 10 meter dari TPR dengan melambaikan tangan kemudian menerima uang dari kernet truk yang berjalan tersebut yaitu sejumlah uang Rp.1000,- s/d Rp.5000,- dan pemandangan ini setiap hari terjadi.

Pungli ini terjadi pula saat berlangsungnya operasi kepolisian baik yang di gelar di jalan umum (pantura) atau di depan Polres Kendal, banyak anggota yang menerima uang dari sopir yang diperiksa. Karena sopir takut dicari kesalahannya oleh Polisi maka dalam surat-surat yang diperiksa (SIM dan STNK) didalam lipatannya diselipkan uang Rp.3000 s/d Rp. 10.000.

Bentuk penyimpangan yang lain adalah mabuk-mabukan ditempat umum, bahkan beberapa anggota mati kecelakaan disebabkan minum-minuman keras. Penyimpangan yang lain berupa penganiayaan kepada tahanan, hampir setiap hari anggota yang melaksanakan piket jaga melakukan penganiayaan kepada para tahanan, bahkan merupakan kepuasan tersendiri kalau sudah menganiaya tahanan, walaupun tahanan tersebut belum tentu bersalah.

Mendatangi tempat perjudian adalah hal yang biasa terutama bagi anggota Polri yang berpakaian preman, tempat perjudian juga merupakan salah satu lahan, yang dengan alasan untuk mencari dukungan dana untuk tugas penyelidikan. Saat nomor togel masih beredar di Jawa Tengah , di Kendal marak pula beberapa agen togel yang tersebar di wilayah Polres Kendal, setiap malam petugas piket selalu mendapatkan jatah, dan setiap bulan para pimpinan mulai dari kanit sampai pimpinan tertinggi di Polres Kendal mendapat jatah pula, hal ini berlangsung sampai Kapolda Irjen Chairul Rasyid memimpin Polda Jateng membrantas perjudian termasuk togel.

Petugas dari satuan lalu-lintas atau Polisi yang bertugas di jalan raya merasa seperti penguasa yang selalu mencari mangsa berupa pelanggaran lalu-lintas, kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber penghasilan tambahan, yang mungkin justru lebig banyak daripada gaji Polisi sendiri.

Saat terjadinya reformasi Polri dihadapkan dan ditempatkan pada posisi yang serba sulit disatu sisi mempertahankan kebijakan pemerintah disatu sisi mengamankan rakyat, namun yang terjadi berhadapan dengan masyarakat yang dilindunginya, demikian pula terjadi di Kendal unjukrasa menjadi pemandangan yang menghiasi setiap hari. Namun unjukrasa yang terjadi di kendal tidak sampai pada anarkhis, hal itu menjadikan para personil Polres Kendal tidak terpengaruh untuk berbuat keras pada pengunjuk rasa, walaupun penganiayaan kepada seorang yang disangka melakukan tindak pidana masih berlangsung.

Setelah reformasi di negeri ini, Polri mulai memperbaiki diri sedikit-demi sedikit, begitu pula Polres Kendal berusaha untuk membenahi personilnya dan meminimalisir terjadinya pelanggaran atau penyimpangan wewenang. Yang menjadi permasalahan adalah tuntutan pimpinan Polres Kendal agar anggota menjadi baik, namun tidak kalah pentingnya adalah tauladan. Tauladan ini adalah nilai kejujuran yang perlu ditanamkan dan dicontohkan kepada anggota, memang sampai saat ini belum ada komitmen dari para pimpinan Polri (juga Polres Kendal) untuk bertindak jujur. Contoh yang konkrit berapa banyak dana yang diajukan dan turun, serta bagaimana penggunaan dana tersebut.

Demikian pula fungsi pengawasan yang setiap triwulan atau semester diadakan wasrik (pengawasan dan pemeriksaan) dari Polda ketiap-tiap Polres, tidak memperbaiki kinerja, tapi justru ajang untuk mencari upeti di kewilayahan oleh para petugas wasrik. Ketika pemeriksa masuk ke ruang Kasat (kepala satuan) atau Kabag (kepala bagian), maka kasat atau kabag sudah mempersiapkan amplop berisi uang yang nantinya diberikan kepada tim pemeriksa, padahal tim pemeriksa sudah menerima biaya perjalanan dari dinas.

Sekedar uang bensin mungkin kata yang tepat untuk memberikan upeti, kejadian seperti ini mungkin telah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda, inspeksi yang diadakan kedaerah-daerah justru hanya untuk mencari penghasilan dari wilayah tersebut.

Dikeluarkanya kode etik profesi Polri pada tahun 2003, semakin menambah garis pembatas tugas Polri agar tidak terjadi penyimpangan, karena kode etik mulanya hanya berupa kalimat-kalimat sansekerta yang diingat oleh anggota Polri namun tidak dimengerti secara mendalam arti dan maksudnya terdiri dari Tri brata dan Catur Prasetya yang diwariskan oleh Gajahmada jaman kerajaan Majapahit (Mabes, 1981: 1-6), dalam kode etiik ini secara rinci perpasal dapat dipahami dan mudah dimengerti.

Terbatasnya pemahaman dan kepedulian anggota terhadap kode etik menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran dan penyimpangan perilaku.


[1] Buku ini merupakan saduran dari The 6th Asia Pacifik Executif Policing Conference” yaitu seminar Kepala Polisi se Asia Pasifik ke VI di Taipei 11 – 14 Januari 1998 .

[2] Peter Villiers dalam bukunya ”Better Police Ethics A Proctial Guide”, diterjemah oleh Jenderal Polisi ( Purn) Drs. Kunarto , diterbitkan PT. Cipta Manunggal , Jakarta, 1999, hlm 44 dan 255 -264 .

[3] Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan dan pertimbangan terlebih dahulu, dalam hal ini karena sudah menjadi kebiasaan yang terlatih, lihat Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulumudin juz 3 hlm 52, hampir sama dengan pengertian etika yang dikemukakan oleh K. Bertens dalam buku Etika.

[4] Konsep selection of nature, struggle for life, dan survival for the fittest, yaitu teori tentang evolusi dimana makhluq akan terseleksi oleh alam, siapa yang dapat bertahan maka dia akan hidup.

[5]. Lihat keputusan Kapolri No. Pol : Kep / 32 / VII / 2003, Polda Jateng, 2003, hlm 7-11

[6]. Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh – sungguh terhadap peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, lihat PP nomor 2 tahun 2003 pasal 1 ayat 2.

[7] Mutasi demosi adalah mutasi yang tidak bersifat promosi jabatan.

[8] Meninggalkan tugas secara tidak sah dalam waktu 30 ( tiga puluh hari ) kerja secara berturut-turut ( disersi ) , melakukan perbuatan dan perilaku yang dapat merugikan dinas Kepolisian, melakukan bubuh diri dengan maksud menghindari tuntutan hukuman atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan dan menjadi anggota dan / pengurus partai politik, lihat PP no:1 tahun 2003 pasal 11-14.

[9] Jam pimpinan adalah istilah dalam TNI / Polri ( dulu ABRI ) yaitu waktu dimana pimpinan memberikan arahan kepada bawahan sebagai bekal melaksanakan tugas, dan jam pimpinan ini diberikan setiap saat diperlukan.