Selamat Datang di Blog Kami

Blog Kami memang tidak istimewa, namun paling tidak meramaikan dunia maya, dan menambah hazanah wawasan

MEGINTAI FENOMENA JADZAB

MENGINTAI FENOMENA “ JADZAB “ “ Suatu maqom diluar kesadaran dalam dunia Tasawuf ” Oleh : M. ANWAR SALAFUDIN PROLOG Islam adalah kepatuhan lahiriah. Kepatuhan ini tidak dapat disempurnakan tanpa kepatuhan batiniah. Jika tidak kemunafikanlah yang terjadi, kepatuhan batiniah adalah keimanan yang diwujudkan kedalam perbuatan batin (qolbu) 1) .Al-Qolbu ada dua arti, pertama daging yang terdapat didada sebelah kiri yang berisi darah hitam, terdapat dalam manusia dan hewan . Kedua ia adalah bisikan Rabbaniyah Ruhaniyah yang punya hubungan dengan daging ini , bisikan ini yang mengenal Allah S.w.t dan memahami apa yang tak dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan . andaikata yang dimaksud al-qolbu adalah jantung, tentulah ia terdapat pada setiap orang . Dikatakan bahwa bisikan hati ini seperti raja dan daging ini seperti gedung dan kerajaan, karena kalau hubunganya seperti halnya benda-benda, tentulah tidak bisa dikatakan, “ Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya “ ( QS. Al-Anfal : 24 ) ini yang disebut tasawuf. Tasawuf merupakan maqom yang menjadi puncak ajaran agama , yakni Ihsan, Taqwa, Tazkiyah pembersihan diri dan penyerapan Robbaniyah atau sifat-sifat ketuhanan. Dalam dunia tasawuf atau mistisme dalam Islam seluruh muara ajaranya akan berpuncak pada pengenalan dan pengetahuan tentang Allah (Ma’rifatulloh ), para Ulama sufi menunjukkan kepada para pengikutnya bagaimana jalan yang harus dilalui untuk menuju kepada Allah hingga mencapai “wushul “ dari pemikiran ini muncul berbagai macam aliran Thoriqoh, diantaranya : a. Thariqot Qodiriyah oleh Syekh Abdul Qodir Jaelani lahir 470 H di Baghdad dan meninggal 561 H (1164 M ) b. Thariqat Rifaiyyah oleh Syekh Ahmad bin Abul Hasan Arrifa”i meninggal 570 H ( 1175 M ) c. Syuhrowardiyyah oleh Syekh Abil Hasan Ali al-Syuhrowardi, meninggal 638 H ( 1240 M ) d. Syadziliyyah oleh Syekh Abil Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar As-sadzily meninggal 655 H (1256 M) e. Ahmadiyah2 oleh Syekh Ahmad Al-Badawy, meninggal 675 H (1276 M) f. Maulawiyah oleh Syekh Maulana Jalaluddin Ar-rumy meninggal 672 H (1273 M) g. Naqsyabandiyah oleh Syekh Muhammad Bahauddin Bukhory An-naqsyabandy. h. Haddadiyah oleh Syekh Abdullah Ba’lawy bin Alwi Al-hadad Al-hamdany, meninggal 1095 H 3. Para guru ( Mursyid) Thariqat yang menuntun para muridnya mencapai hakikat ibadah dengan diawali pensucian jiwa, mengosongkan segala sesuatu, menghilangkan akhlaq tercela (Takholli) dan mengisi dengan akhlaq yang mulia (Tajalli) . Murid (Salik) didalam melakukan perjalanan thoriqohnya ( suluk) menempati urutan kedua dalam ajaran tasawuf ( Syariat, Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat) yang oleh para ulama adalah merupakan pengejawantahan dari firman Allah : Artinya : “ Dan jika mereka tetap berjalan lurus (menetapi / istiqomah ) diatas jalan itu, maka benar benar akan kami berikan kepada mereka minuman (air ) yang segar”. (QS : al-Jin:16) Suluk yang dilakukan oleh para salik berupa latihan atau riyadhoh yang telah ditetapkan oleh para guru (mursyid), dan para guru tersebut yang mengontrol perkembangan kerukhanian murid . sehingga dengan kemajuan ibadah dan tingkat ketaqwaannya dapat mendekatkan diri murid kepada Allah. Seorang yang mendekatkan diri kepada Allah, dikatakan oleh Allah : “ Barang siapa berjalan menuju kepada-KU, AKU akan berlari kepadanya, barang siapa mendekat kepada-KU sejengkal, maka AKU akan mendekat sehasta, siapa yang mendekat sehasta, AKU akan mendekat seperti nafas di tenggorokannya” Seperti firman ALLAH : Artinya : “ Dan Kami lebih dekat, tetapi engkau tiada melihat “ (QS:Al-waqi’ah:85) Setelah seorang salik dekat dengan ALLAH, maka ALLAH akan mencintainya, dijadikanlah ia sebagai kekasih-NYA dan wali-NYA, namun kadang di tengah perjalannya seseorang dapat tertarik oleh agungnya Cahaya ALLAH yang membuat dirinya lupa akan diri dan sekitarnya sehingga muncul perilaku yang nyeleneh (Khowariqul adah) yang oleh ulama tasawuf masyhur dengan sebutan “ JADZAB ” darinya kadang muncul perilaku dan perkataan yang membingungkan bahkan membahayakan bagi orang lain, karena upacan yang mengandung keajaiban namun berakibat buruk semisal ungkapan doa buruk terhadap seseorang, dan mungkin dapat membuat dirinya dijauhi orang karena takut, atau dianggap orang gila. Memang bila dicermati didalam tasawuf sendiri dapat dibagi dalam tiga klasifikasi, yang pertama Tasawuf Falsafi, Tasawuf Amali dan Tasawuf Akhlaqi, sedang perilaku JADZAB dapat digolongkan dalam Tasawuf Falsafi. Contoh Tokoh sufi yang mengalami dunia Jadzab seperti : Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj yang terkenal dengan uacapan dalam ketidak sadaranya ( Syatokhat ) “ Anal Haq” 4) , ataupun yang terjadi ditanah Jawa dengan Syeh Siti Jenar. POKOK BAHASAN “ DEFINITIF “ Jadzab dalam kamus bahasa Arab Jadzaba-Yajdzibu-Jadzban ( ) yang berarti menarik, sedang obyek atau Maf’ul Majdzub ( ) orang gila yang berkeramat. Berbeda dengan orang gila yang dalam kamus bahasa Arab Janna-Yajunnu-Jannan ( ) artinya menutup, sedang Junna- Junuunan ( ) artinya gila, hilang akal , dan obyek atau maf’ul Majnuun artinya orang gila. Istilah Jadzab ditulis oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athoillah Assakandari ( 658 H/1259 M –709 H/1309 M) dalam kitab Al-Khikam 5) Artinya : “Terbukti adanya makhluk, atas adanya nama-nama ALLAH dan dengan nama-nama itu atas adanya sifat, dan denganya adanya sifat-sifat itu adanya Dzat ALLAH, sebab mukhal (tidak masuk akal) adanya sifat yang berdiri sendiri tanpa adanya Dzat, maka orang orang yang Majdzub pertama terbuka (terlihat) oleh mereka kesempurnaan dzat ALLAH, kemudian menurun melihat sifat-sifat ALLAH, dan menurun pula melihat (bersandar) kepada nama-nama ALLAH, sehingga menurun melihat makhluq buatan ALLAH, sebaliknya orang Salik dari bawah naik ke atas, maka puncak orang salik sampai ke permulaan orang majdzub, dan permulaan salik adalah penghabisan orang majdzub, tetapi tidak berarti sama dalam sega hal, hanya ada kalanya bertemu dijalanan yang satu ketika sedang mendaki dan yang lain sedang menurun “ . Adanya makhluq alam ini menunjukkan ( membuktikan) adanya nama-nama ALLAH : Qoodir, Aliem, Hakiem, Muried dan menunjukkan adanya sifat : Qudrat, Iradat, Ilmu dan adanya sifat pasti adanya dzat ALLAH. Sedang sifat makhluk (manusia) ada yang majdzub ( yakni dibukakan oleh ALLAH dan sampai kepada ilmu / mengenal ALLAH) bukan dari ALLAH bukan dari bawah / saluran umum, dan ada yang melalui jalan biasa dari bawah keatas yaitu yang disebut orang salik. Dan keduanya selama belum mencapai puncak akhiranna belum dapat dijadikan guru yang dapat ditiru. Orang majdzub jika belum mengetahui perjalanan orang salik dan orang salik jika belum sampai kepuncak yang didapat (dibukakan) bagi orang majdzub .6 Menurut keterangan KH. Misbah bin Zainal Mustofa dalam terjemah Hikam juga menyebutkan bahwa orang yang dapat diberikedekatan kepada ALLAH itu ada dua macam : yakni Salik dan Majdzub. Salik yaitu perjalanan usaha memperoleh dapat dekat kepada ALLAH mencapai ma”rifatulloh, dengan cara meningkatkan dan mengembangkan iman dengan menghilangkan akhlaq tercela menggantinya dengan akhlak yang terpuji, seperti halnya akhlak imaniyah atupun ijtimaiyyah ( kemasarakatan ) Majdzub yaitu orang yang ditarik ke hadirat ALLAH; dengan kehendak ALLAH, tanpa melewati urutan suluk dalam thariqat. Jika salik dapat menguasai akal sedang majdzub tidak bisa menguasai akal sebab tertutup oleh Nur ilahiyyah, maka terkadang majdzub sering meninggalkan kewajiban agama , dan menurut syar’i tidak berdosa sebab seperti orang gila. Sedang majnun hilang akal / gila sebab tertutup oleh Nur syayatiin. Secara syar’i orang Jadzab dan Majnun mungkin memiliki persamaan yaitu hilang akal dan dikatakan sebagai orang gila, dihukumi sama dalam arti tidak berkewajiban menjalankan syariat sebagaimana mestinya sebab hilang akalnya ( ‘Udzur ) . Jika ALLAH menghendaki untuk menyempurnakan majdzub maka akan diberi kesadaran akal. Jika salik berawal memahami Af’al ALLAH-Asma-asma ALLAH-Sifat-sifat ALLAH ( Khayat, Ilmu, Irodat, Qudrat, Sama’, Basor, dan kalam )- kemudian mengerti Dzat ALLAH, jadi salik naik secara sedikit sedikit . Majdzub langsung menyaksikan kesempuraan Dzat ALLAH menuju Sifat-sifat ALLAH-menuju kejadiyan makhluk dengan asma-asma ALLAH,menuju perubahan semua makhluq.7) TOKOH TASAWUF FALSAFI ( Yang mengalami Jadzab / ekstase ) 1. Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Butami lahir 188 H, Abu Yazib berkata “ Barang saiapa mengenal ALLAH maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya” Kezuhudan Abu Yazid menmbuhkan cinta yang mendalam ( Mahabbah) yang menghanyutkan ia tenggelam dalam kezuhudanya. Dalam keadaan ini ia beroleh ma’rifat hakiki : “ Aku mengenal ALLAH dengan ALLAH dan aku mengenal selain ALLAH dengan Nur ALLAH” dalam hal ini kemudian ia mencapai maqom fana :” Dia membuat gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian membuat aku gila pada –NYA dan akupun hidup, aku berkata gila pada diriku adalah fana dan gila padamu adalah baqa “. Kemudian dia menyatu dengan Tuhan ( Ittihad ) dalam ucapan ( Syathohat ) : “ Tidak ada Tuhan selain Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku dan Maha Besar Aku” 8). 2. Abul Mughits Al-Husain bin Mansur Al-Khallaj lahir di Baiha Persia, ia mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat Lahut dan Nasut, demikian jga manusia. Melalui maqomat manusia mampu ketingkat fana suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasutnya dan meningkatlah lahut ang mengontrol menjadi inti kehidupan . yang demikian itu memungkinkan Khulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengtan kata lain Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-NYA melalui roh. Sesuai dengan ajaranya tatkala ia mengatakan “ Aku adalah Al-Khaq” bukan ia yang mengatakan tapi roh Tuhan . fana menurutnya ada tiga , pertama memfanakan semua keinginan jiwa, kedua memfanakan semua pikiran dan menghilangkan (memfanakan) semua kekuatan pikir dan kesadaran. Kemudian berlanjut pada fana al-fana peleburan ujud manusia menjadi sadar Ketuhanan melarut dalam hulul, yang disadari hanya Tuhan 9). 3. Abu Bakar Muhammad Muhidin bin Arabi Hatimi Al-Thai, lahir di Mursieh, Spanyol bagian selatan 570 H /1165 M, ia menjelaskan “ Manusia itu bagi Tuhan adalah merupakan mata dengan mata, dimana mata dapat melihat dan dilihat. Penglihatan ini diibaratkan dengan pandangan hingga ia dinamakan manusia. Dengan manusia Tuhan memandang kepada makhluk dengan kasih sayang-NYA. Manusia itulah ang baru, yang melimpahm yang bekekalan , yang abadi. Dan jika tidak Zahir Tuhanpada benda-benda makhluq niscaya tidak ada sifat-sifat dan asma-NYA. Dan manakala sudah enal pada-NYA kitapun mengenal Dia dan melalui tajalli-NYA kita mengenal alam semesta “ Wujud alam ini bagi ibnu Arabi adalah satu jua.Segala sesuatu yang wujud dengan dzauq sufi akan memandang kesemestaan ini sebagai keberadaan tunggal “ A.l-Haq dan Al-Khaliq adalah satu”. Proses terjadinya baqo dan fana tidak lepas dari tajalli Wahid Al-Haq, maka dengan ini Ibnu Arabi memunculkan konsep Wihdatul wujud ( menyatunya antara makhluq dengan Tuhan )10 4. Dalam khazanah Islam di Indonesia oleh Syeh Stiti Jenar yang memiliki nama asli Abdul Jalil, melanjutkan teori-teori diatas dengan ajaranya “Manunggaling kawulo Gusti”, perkatannya pada saat dijemput oleh utusan dari Kesultanan Demak “ disini tidak ada Siti Jenar, adanya Syeh lemah abang, tidak ada syekh lemah abang adanya Gusti Alloh” Dia menganggap bahwa semua yang ada didunia adalah bangkai, yang hidup hanya Tuhan, sedang manusia akan hidup sesungguhnya bila ia sudah mati” maka hidup adalah kematian sementara . EPILOG Semua ajaran baik yang bersifat dhohir ataupun batin tidak akan memberi kemanfaatan jika tidak ditujukan untuk mengharap kedekatan kepada ALLAH, dan semua usaha akan sia-sia jika tidak diiringi dengan kebersihan jiwa, dengan kebersihan jiwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan-nya (tempat kembali) karena kita berasal dari – NYA dan akan kembali kepadaNYA , sesuai dengan firman ALLAH : Artinya : “ sesungguhnya semua milik ALLAH, dan sesungguhnya kepada-NYA semua akan kembali “ Memang Tuhanlah yang Maha Suci, dan tidak akan bersatu dengan Tuhanya makhluq yang belum mensucikan dirinya. Penghulu para sufi Syekh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani bin Abi Sholih Janka Dausat, lahir 471 H / 1077 M wafat 561 H / 1166 M 11), mengatakan : Artinya : “ Tidak akan diperkenankan ( duduk ) berdampingan ( dengan ) disisi ALLAH Ta’ala kecuali orang yang sudah membersihkan diri dari berbagai macam kotoran ( Suci Jiwanya ) ”. Semoga kita semua dikehendaki oleh ALLAH menjadi orang yang dekat, bahkan lebih dekat dari kita sendiri, dan dituntun oleh Qudrat dan Irodat ALLAH dengan Ilmu-NYA menuju Ma’rifat Uluhiyyah, hingga tersinari oleh cahaya Robbaniyyah, dan melebur dalam Sifat Khayat-NYA. Kepada ALLAH penulis memohon ampun atas segaa kekurangan dan kekhilafan, kepada cerdik pandai mohon saran dan kritikan , dengan harapan sekelumit tulisan ini bermanfaan bagi penulis dan pembaca pada umumnya . Sholawat serta salam semoga tercurah kepada manusia sempurna kekasih ALLAH, Muhammad bin Abdullah beserta keluarga dan sahabatnya, yang menarik kita dibawah benderanya. DAFTAR PUSTAKA Muhammad Zaki Ibrahim, “ Tasawuf Hitam Putih “, Tiga serangkai,Solo, th 2004. Drs. Imron abu amar “ Disekitar masalah Thariqat”, Menara Kudus,1980. Drs.H.M .Laily Mansur,L.PH, “Ajaran dan teladan para sufi”,PT.Raja Grapindo Persada, Jakarta,1999 H.Alim Bahreisy, “Terjemah Al-Hikam”, Madya,Surabaya, th1984. Kiyahi Misbah bin Zainal Mustofa, “ Tarjamah Matan Khikam “, Wisma pustaka, Surabaya,Tt. Abu Khalid, MA, “ Kisah Teladan dan Karomah Para Sufi “, CV. Pustaka Agung Harapan,Surabaya, th 1998.

Nasionalisme dalam Islam

Nasionalisme dalam Islam

A. Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa awal abad XIX adalah masa kelahiran pemikiran baru dalam dunia Islam. Pemikiran baru itu ditandai dengan keinsafan umat Islam dan kesadaran bahwa di Barat telah lahir peradaban modern yang merupakan ancaman bagi dunia Islam.

Sederet pemikir Islam lahir pada masa itu, diantaranya ialah Rashid Rida yang hidup dalam generasi sesudah Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Shakib Arsalan, sebagaimana dikutip Ahmad al-Ashirbasi, menyatakan bahwa sejarah Islam tidak mungkin digambarkan dalam bentuk yang sebenarnya dan tidak mungkin bisa mencakup segala khazanah ilmu pengetahuannya, kecuali dengan menempatkan Rashid Rida pada posisi yang terhormat.

Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam melihat bahwa bobroknya kondisi masyarakat Islam pada waktu itu disebabkan oleh kolonialisme yang menjajah sebagian besar wilayah Islam serta sistem despotisme dalam pemerintahan raja-raja Islam. Di samping itu, dunia Islam pada umumnya dilanda kejumudan berfikir, yang membuat Islam tidak dapat tumbuh seiring dengan perkembangan dunia modern. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tujuan utama usaha bembaruan yang dilakukan pemikir-pemikir Islam, termasuk Rashid Rida, ialah membangun kembali tatanan masyarakat Islam berdasarkan demokrasi (al-Shura) dan mempertemukan ajaran Islam dengan dunia modern.

Tulisan ini akan membahas ide-ide pembaharuan Rashid Rida tentang Islam dan Nasionalisme. Dan sebelum sampai pada permasalahan tersebut, perlu digambarkan secara singkat bagaimana riwayat hidup Rashid Rida.

B. Riwayat Hidup

Rashid Rida, nama lengkapnya Sayyid Muhammad Rashid bin `Ali Rida bin Muhammad Shams al-Din al-Husayni al-Qalamuni, adalah seorang penulis, ahli hadith, sastrawan, sejarawan, dan mufassir. Ia lahir pada tanggal 23 September 1865 m. di kampung Qalamun yang terletak kurang lebih 3 mil dari Tripoli, Syria. Gelar sayyid pada permulaan namanya adalah gelar bagi semua yang mempunyai garis keturunan dengan Sayyid Husayn bin `Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Rasulillah SAW.

Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang dikenal dengan sebutan shaykh yang memiliki masjid tempat berkhalwat dan membaca. Kondisi yang sedemikian itu membentuk kepribadiannya menjadi seorang yang patuh kepada agama dan ia banyak belajar dari kakek dan ayahnya sendiri. Ia dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin, yang selalu menghabiskan waktunya untuk ilmu dan ibadah pada salah satu bagian masjid milik kakeknya, Shaykh Sayyid Ahmad. Ibunya bercerita bahwa semenjak Rashid dewasa, kami tidak melihatnya tidur, karena ia baru tidur sesudah kami tidur dan bangun sebelum kami bangun.

Di masa kecil, Rashid Rida belajar membaca al-Qur'an, menulis, dan berhitung pada al-Kuttab yang berada di kampungnya. Setelah tamat, ia dikirim orang tuanya ke Tripoli untuk melanjutkan studinya di al-Madrasah al-Rashidiyah yang mengajarkan Nahwu, Saraf, Aqidah, Fiqh, Berhitung, dan Ilmu Bumi dengan bahasa Turki sebagai bahasa pengantar.

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 h./1882 m., ia pindah ke al-Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping itu diajarkan bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh Shaykh Husayn al-Jisr, ia berpendapat bahwa umat Islam tidak akan maju kecuali dengan penguasaan ilmu agama dan ilmu keduniaan sekaligus, sesuai dengan metode modern Eropa, dan disertai pendidikan nasional Islam agar dapat sejajar dengan pendidikan asing pada sekalah-sekolah di Eropa dan Amerika. Di samping itu, sekolah ini dimaksudkan untuk menyaingi sekolah misi Kristen yang sedang bermunculan di Syria.

Tidak lama kemudian, pemerintah Uthmani menutup sekolah ini dengan alasan yang tidak jelas, sehingga Rashid Rida harus meneruskan studinya ke salah satu sekolah agama di Tripoli, namun ia tetap aktif menghadiri pengajian Shaykh al-Jisr di al-Madrasah al-Rahbiyah yang diselenggarakan dirumah Shaykh sendiri. Pada tahun 1897, Shaykh al-Jisr memberikan ijazah al-`Alim kepada Rashid Rida dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Dalam ijazah itu disebutkan bahwa Rashid Rida telah belajar selama delapan tahun, dan memperoleh ilmu manqul dan ma`qul.

Shaykh al-Jisr adalah seorang guru yang mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Rashid Rida, karena ia banyak memberi kesempatan kepada Rashid Rida untuk menulis di surat kabar yang ia pimpin. Makalah pertama yang ditulis Rashid Rida di Surat Kabar ini ialah makalah dengan tema Falsafah al-Akhlaq.

Disamping belajar kepada Shaykh al-Jisr, Rashid Rida juga belajar kepada beberapa guru, antara lain sebagai berikut;

1. Shaykh Mahmud Nashabah, seorang ahli hadith,

2. Shaykh Muhammad al-Qawiji, seorang ahli hadith,

3. Shaykh Abd al-Ghani al-Rafi`i, yang mengajarkan sebagian kitab

Nayl al-Awtar karya al-Shawkani,

4. al-Ustaz Muhammad al-Husayni,

5. Shaykh Muhammad Kamil al-Rafi`i.

Pada awalnya Rashid Rida adalah seorang sufi karena pengaruh buku Ihya' `Ulum al-Din karya al-Ghazali. Namun ia tidak sepenuhnya menyerap ajaran al-Ghazali, seperti ajaran Jabariyah, Ta'wil al-'Ash`ariyah dan al-Sufiyah, Zuhd yang berlebihan dan hal-hal yang berbau bid`ah. Akan tetapi setelah membaca al-`Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamal al-Din al-'Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar keseluruh dunia Islam, ia mengubah sikapnya yang berjiwa sufi menjadi seorang yang penuh semangat. Hal ini sesuai dengan pengakuannya sebagai berikut: "Dengan membaca al-`Urwah al-Wushqa, aku berpindah ke suatu jalan baru dalam memahami agama Islam, dengan keyakinan bahwa Islam bukan sekedar agama ruhani-ukhrawi semata, akan tetapi Ia adalah agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan duniawi, yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh".

Kalau semula usaha Rashid Rida hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan shari`ah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan zuhd, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kekaguman Rashid Rida kepada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut pada tahun 1885 m. untuk mengajar dan mengarang. Pertemuannya pertama kali dengan Muhammad Abduh terjadi ketika Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui Shaykh Abdullah al-Barakah, pengajar pada al-Madrasah al-Khanutiyah.

Dan pertemuan kedua terjadi juga di Tripoli pada tahun 1894 m. Pada waktu itu Rashid Rida bisa menemui Muhammad Abduh sepanjang hari, sehingga banyak permasalahan yang yang bisa ditanyakan. Sedangkan pertemuan yang ketiga terjadi pada tahun 1897 di Kairo dan ia memutuskan untuk menetap di sana. Setahun kemudian ia menerbitkan Majalah al-Manar, yang di dalamnya tertuang ide-ide pembaruannya dan ide-ide Muhammad Abduh. Ide-ide terebut pada akhirnya disusun sehingga menjadi Tafsir al-Manar. Muhammad Fathi Uthman menyatakan bahwa motivasi Rashid Rida dalam menulis tafsirnya ialah untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan kaum muslimin. Kelemahan-kelemahan itu ialah pertama, kebodohan dan ketidakahuan kaum muslimin akan al-Qur'an yang mengadung ajaran yang sesuai dengan kehidupan sosial dan politik. Dan kedua, ketidaktahuan mereka bahwa untuk memahami al-Qur'an harus menggunakan akal dan hati.

Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga tokoh, yaitu Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rashid Rida. Tokoh pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua, gagasan-gagasan itu dicerna, diterima, dan diolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan diterima oleh, antara lain tokoh ketiga yang kemudian ditulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

Dengan demikian, Tafsir al-Manar lebih cocok untuk dinisbatkan kepada Rashid Rida, karena di samping lebih banyak yang ditulisnya, dalam penafsiran al-Fatihah dan al-Baqarah serta al-Nisa' terdapat pendapat-pendapatnya dengan menulis kata aqulu. Di samping Tafsir al-Manar, ia menulis sekian banyak buku, antara lain sebagai berikut:

1. al-Hikmah al-Shar`iyyah fi Muhakamat al-Qadiriyah wa al- Rifa`iyyah,

2. Tarikh al-Ustazh al-Imam,

3. Nida' li al-Jins al-Latif,

4. al-Wahy al-Muhammadi,

5. al-Manar wa al-Azhar, dll.

Di samping menulis, Rashid Rida juga aktif dalam kegiatan kegiatan politik. Ia menghadiri konferensi Islam di Makkah tahun 1926 m. dan di Jerussalem tahun 1931 m. Sebagaimana Muhammad Abduh, ia selalu mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan dinasti Muhammad `Ali di Mesir, walaupun dinasti ini berjasa kepada Rashid Rida dalam mendirikan Madrasah al-Da`wah wa al-Irshad. Ia juga memainkan peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan politik Syria dari kekuasaan Turki Muda. Rashid Rida juga aktif dalam perundingan peperangan dengan Inggris, ia pernah menjabat Presiden Kongres Syria tahun 1920, sebagai anggota delegasi Syria-Palestina di Genewa tahun 1921, dan sebagai anggota Komite Politik di Kairo selama pemberontakan Syria tahun 1925-1926.

Pada tanggal 22 Agustus 1935, dalam perjalanan pulang dari kota Suez, Mesir, setelah mengantar pangeran al-Sa`ud bin Abd al-Aziz, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan.

C. Islam dan Nasionalisme Menurut Rashid Rida

Secara umum pandangan Rashid Rida tentang Islam bertolak dari masalah mengapa umat Islam mundur dalam segala segi peradaban. Ia melihat bahwa kemunduran itu terjadi karena ketidak mampuan umat Islam memadukan antara ajaran-ajaran spiritual agamanya dengan masalah kemakmuran duniawi, padahal ajaran Islam mencakup kedua hal tersebut. Jika ajaran Islam dipahami dan ditaati sebaik-baiknya, umat Islam akan memperoleh kekuatan, kehormatan, peradaban tinggi, dan kesejahteraan. Ringkasnya, Umat Islam akan menjadi jantung peradaban dunia selama mereka menjadi muslim yang sebenarnya.

Menurut Rashid Rida, ada sesuatu yang hilang dari pangkuan umat Islam, yaitu etos jihad. Jihad yang dimaksud ialah usaha dinamis dan hal itu terdapat pada ajaran Islam. Umat Islam harus bersikap aktif, berusaha keras dan rela memberi pengorbanan harta dan jiwa, demi mencapai cita-cita perjuangan. Etos inilah yang membawa umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia. Akan tetapi sekarang, yang memiliki sikap dinamis ini adalah orang-orang Eropa. Oleh karena itu, mereka mampu menaklukkan alam, mereka rela mengorbankan hidup dan harta demi bangsanya. Di samping itu, mereka memiliki kesetiaan yang tak seorang pun dari mereka berani menghianatinya. Kondisi yang sedemikian itu sebenarnya juga dapat dimiliki umat Islam kembali, tetapi dengan cara yang berbeda dengan Barat. Jika orang Barat aktif dan dinamis karena melepaskan agama mereka dan menggantikannya dengan prinsip kebangsaan, maka umat Islam dapat memperolehnya dari ajaran agamanya sendiri.

Dalam memahami asabiyah, Rashid Rida berbeda dengan Ibn Khaldun. Ia menolak penafsiran Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa asabiyah relevan dengan misi kenabian meskipun ditopang oleh aturan hukum (shari`ah). Menurut Rashid Rida bahwa Khalifah harus didasarkan atas kesadaran beragama bukan atas dasar asabiyah.

Walaupun Rashid Rida mengakui kemajuan peradaban Barat, ia tidak setuju dengan faham sekuler Barat, yaitu pemisahan agama dari rasa kebangsaan. Menurut Rashid Rida, umat Islam tidak perlu meniru Barat dalam faham kebangsaan ini, karena dalam Islam rasa kebangsaan itu justru dibangun di atas dasar keagamaan. Dalam hal ini, ia memahami kebangsaan atau nasionalisme tidak dalam arti kesamaan etnis, akan tetapi dalam arti suatu umat yang sama agamanya, yakni umat Islam. Kemungkinan ia menghidupkan konsep itu sebagai reaksi terhadap nasionalisme yang dibawa oleh Napoleon, yang pengaruhnya mewarnai negara-negara Islam pada waktu itu.

Sejalan dengan konsep tersebut, Rashid Rida menginginkan kesatuan dunia Islam. Untuk itu ia mengharapkan kepemimpinan Turki Uthmani, akan tetapi ketika Turki Uthmani runtuh, harapannya dialihkan pada kerajaan Ibn al-Sa`ud. Ia juga menganjurkan pembentukan organisasi al-Jam`iyah al-Islamiyah di bawah naungan Khalifah, berdasarkan prinsip persaudaraan Islam yang menghapuskan ikatan-ikatan rasial dan menyusun peraturan untuk segenap kaum muslimin dalam suatu komunitas.

Konsep kebangsaan tersebut mendapat reaksi keras dari golongan nasionalisme Mesir. Muhammad Farid, salah seorang pemimpinnya pernah mengecam Rashid Rida dengan pernyatannya bahwa Rashid Rida tidak menghormati bangsa lain dimana ia hidup di tengah-tengahnya.

Menanggapi kecaman ini, Rashid Rida berkata bahwa larangan yang dia maksud ialah usaha menggerakkan asabiyah jahiliyah terhadap diri saya, yakni asabiyyah rasial, dan dia bukanlah orang Mesir. Dan sebelumnya ia pernah berkata: "Hendaklah para propagandis asabiyah jahiliyah Mesir sadar dan merenungkan kembali bahwa asabiyah ini adalah salah satu pertanda kehancuran, bukan pertanda kebangkitan. Seandainya pendahulu-pendahulu kita memiliki sifat asabiyah ini, maka mereka tidak akan memperoleh kemajuan ilmu dan peradaban seperti yang pernah mereka capai. Menurut Rashid Rida, Islam melarang permusuhan di kalangan umat Islam, baik yang timbul lantaran adanya perasaan ikatan kelompok, negara, ataupun wilayah tempat tinggal, karena hal itu bertentangan dengan persaudaraan atas dasar keagamaan.

Namun demikian, konsep nasionalisme Rashid Rida tidak mengabaikan perlunya bekerja sama dengan kelompok non Islam. Hal ini tergambar dalam ungkapannya ketika menjawab pertanyaan dari salah satu pejuang Islam di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tipe patriotisme yang harus dimiliki oleh pemuda-pemuda muslim ialah bahwa ia harus menjadi teladan yang baik bagi rakyat di negaranya, apapun agamanya, bekerja sama dalam berbagai macam kegiatan yang syah demi mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan kekuatan. Akan tetapi, dalam pembelaan tanah air dan bangsanya itu, ia tidak boleh melalaikan ajaran Islam.

Dalam rangka mempertahankan keutuhan dunia Islam, Rashid Rida memandang bahwa kerajaan Uthmani harus dijadikan sebagai lambang kedaulatan Islam dan Khilafah. Ia, sama halnya dengan gurunya Muhammad Abduh, tidak mempermasalahkan gelar sultan Uthmani ataupun Khilafah, dan juga tidak pernah mendukung seruan untuk membangun Khilafah Arab. Menurutnya, Uthmaniyah adalah suatu kebangsaan yang beraneka ragam agama dan bahasanya. Ia menolak pendapat Barat yang meletakkan karateristik suatu bangsa pada kesamaan bahasanya, dengan menegaskan bahwa kita tergantung atas sikap kita untuk meninggalkan pendapat orang Barat tentang kebangsaan, dan menyepakati bahwa ciri kebangsaan kita ialah Uthmaniyah. Dan saya mengira bahwa tidak satu unsur pun yang berada di bawah panji Dawlah Uthmaniyah akan membuang pandangan ini, lalu menyetujui istilah Eropa tentang kebangsaan itu.

Sultan Uthmani diakui Rashid Rida sebagai pemimpin aktual dunia Islam, sebagai pemerintahan muslim yang terkuat. Namun pemerintahan muslim lainnya juga diakui eksistensinya sebagai negara bagian (Component States) dari konfederasi bersama Uthmani. Dukungannya terhadap kerajaan Uthmani sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa Uthmani pada saat itu merupakan Khilafah Islam yang masih bertahan. Ketika Inggris berusaha untuk membagi-bagi wilayah Uthmani menjadi beberapa negara merdeka, Rashid Rida menyampaikan maklumat kepada Perdana Menteri Inggris, Lioyd George, bahwa kaum muslimin tidak akan puas jika Inggris hanya membantu mempertahankan sebuah negara Turki murni bekas kerajaan Uthmani, sebagai lambang Khilafah. Tidaklah mungkin memisahkan Khilafah dari tempat-tempat suci, yang semuanya berada di propinsi-propinsi Arab yang juga ingin membangun kemerdekaannya masing-masing.

Menurut Rashid Rida, usaha untuk menghapus kerajaan Uthmani bertujuan untuk menghapus Khilafah Islam. Baginya, Khilafah itu harus dipertahankan keberadaannya, jika umat Islam ingin tetap bersatu dan mempunyai kekuatan. Ia menilai bahwa pendapat yang ingin menghapus Khilafah, sebagaimana yang diinginkan oleh Ali Abd al-Raziq, merupakan usaha untuk membantu musuh-musuh Islam. Usaha untuk membangun Khilafah baru menggantikan kerajaan Uthmani merupakan keinginan dari luar, dan hanya akan melayani kepentingan orang-orang dari luar. Namun, pada akhirnya pandangan Rashid Rida berubah karena asabiyah Turki mulai terasa dan orang-orang Turki bersikap zalim terhadap orang-orang Arab.

D. Penutup

Nasionalisme menurut Rashid Rida harus didasarkan atas kesamaan agama, yakni agama Islam, bukan kesamaan etnis dan bahasa. Akan tetapi, ia tidak mengabaikan kerja sama dengan golongan non Islam dengan syarat tidak melalaikan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia menginginkan Khilafah harus tetap dipertahankan untuk menggalang kekuatan dan mempersatukan umat Islam.r