Selamat Datang di Blog Kami

Blog Kami memang tidak istimewa, namun paling tidak meramaikan dunia maya, dan menambah hazanah wawasan

Nasionalisme dalam Islam

Nasionalisme dalam Islam

A. Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa awal abad XIX adalah masa kelahiran pemikiran baru dalam dunia Islam. Pemikiran baru itu ditandai dengan keinsafan umat Islam dan kesadaran bahwa di Barat telah lahir peradaban modern yang merupakan ancaman bagi dunia Islam.

Sederet pemikir Islam lahir pada masa itu, diantaranya ialah Rashid Rida yang hidup dalam generasi sesudah Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Shakib Arsalan, sebagaimana dikutip Ahmad al-Ashirbasi, menyatakan bahwa sejarah Islam tidak mungkin digambarkan dalam bentuk yang sebenarnya dan tidak mungkin bisa mencakup segala khazanah ilmu pengetahuannya, kecuali dengan menempatkan Rashid Rida pada posisi yang terhormat.

Pada umumnya, pemikir-pemikir Islam melihat bahwa bobroknya kondisi masyarakat Islam pada waktu itu disebabkan oleh kolonialisme yang menjajah sebagian besar wilayah Islam serta sistem despotisme dalam pemerintahan raja-raja Islam. Di samping itu, dunia Islam pada umumnya dilanda kejumudan berfikir, yang membuat Islam tidak dapat tumbuh seiring dengan perkembangan dunia modern. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tujuan utama usaha bembaruan yang dilakukan pemikir-pemikir Islam, termasuk Rashid Rida, ialah membangun kembali tatanan masyarakat Islam berdasarkan demokrasi (al-Shura) dan mempertemukan ajaran Islam dengan dunia modern.

Tulisan ini akan membahas ide-ide pembaharuan Rashid Rida tentang Islam dan Nasionalisme. Dan sebelum sampai pada permasalahan tersebut, perlu digambarkan secara singkat bagaimana riwayat hidup Rashid Rida.

B. Riwayat Hidup

Rashid Rida, nama lengkapnya Sayyid Muhammad Rashid bin `Ali Rida bin Muhammad Shams al-Din al-Husayni al-Qalamuni, adalah seorang penulis, ahli hadith, sastrawan, sejarawan, dan mufassir. Ia lahir pada tanggal 23 September 1865 m. di kampung Qalamun yang terletak kurang lebih 3 mil dari Tripoli, Syria. Gelar sayyid pada permulaan namanya adalah gelar bagi semua yang mempunyai garis keturunan dengan Sayyid Husayn bin `Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Rasulillah SAW.

Ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang dikenal dengan sebutan shaykh yang memiliki masjid tempat berkhalwat dan membaca. Kondisi yang sedemikian itu membentuk kepribadiannya menjadi seorang yang patuh kepada agama dan ia banyak belajar dari kakek dan ayahnya sendiri. Ia dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin, yang selalu menghabiskan waktunya untuk ilmu dan ibadah pada salah satu bagian masjid milik kakeknya, Shaykh Sayyid Ahmad. Ibunya bercerita bahwa semenjak Rashid dewasa, kami tidak melihatnya tidur, karena ia baru tidur sesudah kami tidur dan bangun sebelum kami bangun.

Di masa kecil, Rashid Rida belajar membaca al-Qur'an, menulis, dan berhitung pada al-Kuttab yang berada di kampungnya. Setelah tamat, ia dikirim orang tuanya ke Tripoli untuk melanjutkan studinya di al-Madrasah al-Rashidiyah yang mengajarkan Nahwu, Saraf, Aqidah, Fiqh, Berhitung, dan Ilmu Bumi dengan bahasa Turki sebagai bahasa pengantar.

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1299 h./1882 m., ia pindah ke al-Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping itu diajarkan bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh Shaykh Husayn al-Jisr, ia berpendapat bahwa umat Islam tidak akan maju kecuali dengan penguasaan ilmu agama dan ilmu keduniaan sekaligus, sesuai dengan metode modern Eropa, dan disertai pendidikan nasional Islam agar dapat sejajar dengan pendidikan asing pada sekalah-sekolah di Eropa dan Amerika. Di samping itu, sekolah ini dimaksudkan untuk menyaingi sekolah misi Kristen yang sedang bermunculan di Syria.

Tidak lama kemudian, pemerintah Uthmani menutup sekolah ini dengan alasan yang tidak jelas, sehingga Rashid Rida harus meneruskan studinya ke salah satu sekolah agama di Tripoli, namun ia tetap aktif menghadiri pengajian Shaykh al-Jisr di al-Madrasah al-Rahbiyah yang diselenggarakan dirumah Shaykh sendiri. Pada tahun 1897, Shaykh al-Jisr memberikan ijazah al-`Alim kepada Rashid Rida dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. Dalam ijazah itu disebutkan bahwa Rashid Rida telah belajar selama delapan tahun, dan memperoleh ilmu manqul dan ma`qul.

Shaykh al-Jisr adalah seorang guru yang mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Rashid Rida, karena ia banyak memberi kesempatan kepada Rashid Rida untuk menulis di surat kabar yang ia pimpin. Makalah pertama yang ditulis Rashid Rida di Surat Kabar ini ialah makalah dengan tema Falsafah al-Akhlaq.

Disamping belajar kepada Shaykh al-Jisr, Rashid Rida juga belajar kepada beberapa guru, antara lain sebagai berikut;

1. Shaykh Mahmud Nashabah, seorang ahli hadith,

2. Shaykh Muhammad al-Qawiji, seorang ahli hadith,

3. Shaykh Abd al-Ghani al-Rafi`i, yang mengajarkan sebagian kitab

Nayl al-Awtar karya al-Shawkani,

4. al-Ustaz Muhammad al-Husayni,

5. Shaykh Muhammad Kamil al-Rafi`i.

Pada awalnya Rashid Rida adalah seorang sufi karena pengaruh buku Ihya' `Ulum al-Din karya al-Ghazali. Namun ia tidak sepenuhnya menyerap ajaran al-Ghazali, seperti ajaran Jabariyah, Ta'wil al-'Ash`ariyah dan al-Sufiyah, Zuhd yang berlebihan dan hal-hal yang berbau bid`ah. Akan tetapi setelah membaca al-`Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamal al-Din al-'Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar keseluruh dunia Islam, ia mengubah sikapnya yang berjiwa sufi menjadi seorang yang penuh semangat. Hal ini sesuai dengan pengakuannya sebagai berikut: "Dengan membaca al-`Urwah al-Wushqa, aku berpindah ke suatu jalan baru dalam memahami agama Islam, dengan keyakinan bahwa Islam bukan sekedar agama ruhani-ukhrawi semata, akan tetapi Ia adalah agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan duniawi, yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh".

Kalau semula usaha Rashid Rida hanya terbatas pada usaha perbaikan aqidah dan shari`ah masyarakatnya serta menjauhkan mereka dari kemewahan duniawi dengan melakukan zuhd, maka dengan membaca majalah tersebut ia beralih kepada usaha-usaha membangkitkan semangat kaum Muslimin untuk melaksanakan ajaran agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kekaguman Rashid Rida kepada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut pada tahun 1885 m. untuk mengajar dan mengarang. Pertemuannya pertama kali dengan Muhammad Abduh terjadi ketika Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui Shaykh Abdullah al-Barakah, pengajar pada al-Madrasah al-Khanutiyah.

Dan pertemuan kedua terjadi juga di Tripoli pada tahun 1894 m. Pada waktu itu Rashid Rida bisa menemui Muhammad Abduh sepanjang hari, sehingga banyak permasalahan yang yang bisa ditanyakan. Sedangkan pertemuan yang ketiga terjadi pada tahun 1897 di Kairo dan ia memutuskan untuk menetap di sana. Setahun kemudian ia menerbitkan Majalah al-Manar, yang di dalamnya tertuang ide-ide pembaruannya dan ide-ide Muhammad Abduh. Ide-ide terebut pada akhirnya disusun sehingga menjadi Tafsir al-Manar. Muhammad Fathi Uthman menyatakan bahwa motivasi Rashid Rida dalam menulis tafsirnya ialah untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan kaum muslimin. Kelemahan-kelemahan itu ialah pertama, kebodohan dan ketidakahuan kaum muslimin akan al-Qur'an yang mengadung ajaran yang sesuai dengan kehidupan sosial dan politik. Dan kedua, ketidaktahuan mereka bahwa untuk memahami al-Qur'an harus menggunakan akal dan hati.

Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga tokoh, yaitu Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rashid Rida. Tokoh pertama menanamkan gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua, gagasan-gagasan itu dicerna, diterima, dan diolah, kemudian disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan diterima oleh, antara lain tokoh ketiga yang kemudian ditulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

Dengan demikian, Tafsir al-Manar lebih cocok untuk dinisbatkan kepada Rashid Rida, karena di samping lebih banyak yang ditulisnya, dalam penafsiran al-Fatihah dan al-Baqarah serta al-Nisa' terdapat pendapat-pendapatnya dengan menulis kata aqulu. Di samping Tafsir al-Manar, ia menulis sekian banyak buku, antara lain sebagai berikut:

1. al-Hikmah al-Shar`iyyah fi Muhakamat al-Qadiriyah wa al- Rifa`iyyah,

2. Tarikh al-Ustazh al-Imam,

3. Nida' li al-Jins al-Latif,

4. al-Wahy al-Muhammadi,

5. al-Manar wa al-Azhar, dll.

Di samping menulis, Rashid Rida juga aktif dalam kegiatan kegiatan politik. Ia menghadiri konferensi Islam di Makkah tahun 1926 m. dan di Jerussalem tahun 1931 m. Sebagaimana Muhammad Abduh, ia selalu mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan dinasti Muhammad `Ali di Mesir, walaupun dinasti ini berjasa kepada Rashid Rida dalam mendirikan Madrasah al-Da`wah wa al-Irshad. Ia juga memainkan peran yang besar dalam perjuangan kemerdekaan politik Syria dari kekuasaan Turki Muda. Rashid Rida juga aktif dalam perundingan peperangan dengan Inggris, ia pernah menjabat Presiden Kongres Syria tahun 1920, sebagai anggota delegasi Syria-Palestina di Genewa tahun 1921, dan sebagai anggota Komite Politik di Kairo selama pemberontakan Syria tahun 1925-1926.

Pada tanggal 22 Agustus 1935, dalam perjalanan pulang dari kota Suez, Mesir, setelah mengantar pangeran al-Sa`ud bin Abd al-Aziz, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak dan akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan.

C. Islam dan Nasionalisme Menurut Rashid Rida

Secara umum pandangan Rashid Rida tentang Islam bertolak dari masalah mengapa umat Islam mundur dalam segala segi peradaban. Ia melihat bahwa kemunduran itu terjadi karena ketidak mampuan umat Islam memadukan antara ajaran-ajaran spiritual agamanya dengan masalah kemakmuran duniawi, padahal ajaran Islam mencakup kedua hal tersebut. Jika ajaran Islam dipahami dan ditaati sebaik-baiknya, umat Islam akan memperoleh kekuatan, kehormatan, peradaban tinggi, dan kesejahteraan. Ringkasnya, Umat Islam akan menjadi jantung peradaban dunia selama mereka menjadi muslim yang sebenarnya.

Menurut Rashid Rida, ada sesuatu yang hilang dari pangkuan umat Islam, yaitu etos jihad. Jihad yang dimaksud ialah usaha dinamis dan hal itu terdapat pada ajaran Islam. Umat Islam harus bersikap aktif, berusaha keras dan rela memberi pengorbanan harta dan jiwa, demi mencapai cita-cita perjuangan. Etos inilah yang membawa umat Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia. Akan tetapi sekarang, yang memiliki sikap dinamis ini adalah orang-orang Eropa. Oleh karena itu, mereka mampu menaklukkan alam, mereka rela mengorbankan hidup dan harta demi bangsanya. Di samping itu, mereka memiliki kesetiaan yang tak seorang pun dari mereka berani menghianatinya. Kondisi yang sedemikian itu sebenarnya juga dapat dimiliki umat Islam kembali, tetapi dengan cara yang berbeda dengan Barat. Jika orang Barat aktif dan dinamis karena melepaskan agama mereka dan menggantikannya dengan prinsip kebangsaan, maka umat Islam dapat memperolehnya dari ajaran agamanya sendiri.

Dalam memahami asabiyah, Rashid Rida berbeda dengan Ibn Khaldun. Ia menolak penafsiran Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa asabiyah relevan dengan misi kenabian meskipun ditopang oleh aturan hukum (shari`ah). Menurut Rashid Rida bahwa Khalifah harus didasarkan atas kesadaran beragama bukan atas dasar asabiyah.

Walaupun Rashid Rida mengakui kemajuan peradaban Barat, ia tidak setuju dengan faham sekuler Barat, yaitu pemisahan agama dari rasa kebangsaan. Menurut Rashid Rida, umat Islam tidak perlu meniru Barat dalam faham kebangsaan ini, karena dalam Islam rasa kebangsaan itu justru dibangun di atas dasar keagamaan. Dalam hal ini, ia memahami kebangsaan atau nasionalisme tidak dalam arti kesamaan etnis, akan tetapi dalam arti suatu umat yang sama agamanya, yakni umat Islam. Kemungkinan ia menghidupkan konsep itu sebagai reaksi terhadap nasionalisme yang dibawa oleh Napoleon, yang pengaruhnya mewarnai negara-negara Islam pada waktu itu.

Sejalan dengan konsep tersebut, Rashid Rida menginginkan kesatuan dunia Islam. Untuk itu ia mengharapkan kepemimpinan Turki Uthmani, akan tetapi ketika Turki Uthmani runtuh, harapannya dialihkan pada kerajaan Ibn al-Sa`ud. Ia juga menganjurkan pembentukan organisasi al-Jam`iyah al-Islamiyah di bawah naungan Khalifah, berdasarkan prinsip persaudaraan Islam yang menghapuskan ikatan-ikatan rasial dan menyusun peraturan untuk segenap kaum muslimin dalam suatu komunitas.

Konsep kebangsaan tersebut mendapat reaksi keras dari golongan nasionalisme Mesir. Muhammad Farid, salah seorang pemimpinnya pernah mengecam Rashid Rida dengan pernyatannya bahwa Rashid Rida tidak menghormati bangsa lain dimana ia hidup di tengah-tengahnya.

Menanggapi kecaman ini, Rashid Rida berkata bahwa larangan yang dia maksud ialah usaha menggerakkan asabiyah jahiliyah terhadap diri saya, yakni asabiyyah rasial, dan dia bukanlah orang Mesir. Dan sebelumnya ia pernah berkata: "Hendaklah para propagandis asabiyah jahiliyah Mesir sadar dan merenungkan kembali bahwa asabiyah ini adalah salah satu pertanda kehancuran, bukan pertanda kebangkitan. Seandainya pendahulu-pendahulu kita memiliki sifat asabiyah ini, maka mereka tidak akan memperoleh kemajuan ilmu dan peradaban seperti yang pernah mereka capai. Menurut Rashid Rida, Islam melarang permusuhan di kalangan umat Islam, baik yang timbul lantaran adanya perasaan ikatan kelompok, negara, ataupun wilayah tempat tinggal, karena hal itu bertentangan dengan persaudaraan atas dasar keagamaan.

Namun demikian, konsep nasionalisme Rashid Rida tidak mengabaikan perlunya bekerja sama dengan kelompok non Islam. Hal ini tergambar dalam ungkapannya ketika menjawab pertanyaan dari salah satu pejuang Islam di Indonesia. Ia menegaskan bahwa tipe patriotisme yang harus dimiliki oleh pemuda-pemuda muslim ialah bahwa ia harus menjadi teladan yang baik bagi rakyat di negaranya, apapun agamanya, bekerja sama dalam berbagai macam kegiatan yang syah demi mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan kekuatan. Akan tetapi, dalam pembelaan tanah air dan bangsanya itu, ia tidak boleh melalaikan ajaran Islam.

Dalam rangka mempertahankan keutuhan dunia Islam, Rashid Rida memandang bahwa kerajaan Uthmani harus dijadikan sebagai lambang kedaulatan Islam dan Khilafah. Ia, sama halnya dengan gurunya Muhammad Abduh, tidak mempermasalahkan gelar sultan Uthmani ataupun Khilafah, dan juga tidak pernah mendukung seruan untuk membangun Khilafah Arab. Menurutnya, Uthmaniyah adalah suatu kebangsaan yang beraneka ragam agama dan bahasanya. Ia menolak pendapat Barat yang meletakkan karateristik suatu bangsa pada kesamaan bahasanya, dengan menegaskan bahwa kita tergantung atas sikap kita untuk meninggalkan pendapat orang Barat tentang kebangsaan, dan menyepakati bahwa ciri kebangsaan kita ialah Uthmaniyah. Dan saya mengira bahwa tidak satu unsur pun yang berada di bawah panji Dawlah Uthmaniyah akan membuang pandangan ini, lalu menyetujui istilah Eropa tentang kebangsaan itu.

Sultan Uthmani diakui Rashid Rida sebagai pemimpin aktual dunia Islam, sebagai pemerintahan muslim yang terkuat. Namun pemerintahan muslim lainnya juga diakui eksistensinya sebagai negara bagian (Component States) dari konfederasi bersama Uthmani. Dukungannya terhadap kerajaan Uthmani sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa Uthmani pada saat itu merupakan Khilafah Islam yang masih bertahan. Ketika Inggris berusaha untuk membagi-bagi wilayah Uthmani menjadi beberapa negara merdeka, Rashid Rida menyampaikan maklumat kepada Perdana Menteri Inggris, Lioyd George, bahwa kaum muslimin tidak akan puas jika Inggris hanya membantu mempertahankan sebuah negara Turki murni bekas kerajaan Uthmani, sebagai lambang Khilafah. Tidaklah mungkin memisahkan Khilafah dari tempat-tempat suci, yang semuanya berada di propinsi-propinsi Arab yang juga ingin membangun kemerdekaannya masing-masing.

Menurut Rashid Rida, usaha untuk menghapus kerajaan Uthmani bertujuan untuk menghapus Khilafah Islam. Baginya, Khilafah itu harus dipertahankan keberadaannya, jika umat Islam ingin tetap bersatu dan mempunyai kekuatan. Ia menilai bahwa pendapat yang ingin menghapus Khilafah, sebagaimana yang diinginkan oleh Ali Abd al-Raziq, merupakan usaha untuk membantu musuh-musuh Islam. Usaha untuk membangun Khilafah baru menggantikan kerajaan Uthmani merupakan keinginan dari luar, dan hanya akan melayani kepentingan orang-orang dari luar. Namun, pada akhirnya pandangan Rashid Rida berubah karena asabiyah Turki mulai terasa dan orang-orang Turki bersikap zalim terhadap orang-orang Arab.

D. Penutup

Nasionalisme menurut Rashid Rida harus didasarkan atas kesamaan agama, yakni agama Islam, bukan kesamaan etnis dan bahasa. Akan tetapi, ia tidak mengabaikan kerja sama dengan golongan non Islam dengan syarat tidak melalaikan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia menginginkan Khilafah harus tetap dipertahankan untuk menggalang kekuatan dan mempersatukan umat Islam.r

0 Responses to "Nasionalisme dalam Islam"