Selamat Datang di Blog Kami

Blog Kami memang tidak istimewa, namun paling tidak meramaikan dunia maya, dan menambah hazanah wawasan

POLISI DALAM ETIKA

Kepolisian adalah suatu lembaga yang dimiliki setiap negara dan dibutuhkan sebagai salah satu sistem yang menangani masalah keamanan dalam negeri, sebagaimana kepolisian yang ada disemua negara, Polri memiliki peran yang penting dalam mengemban tugas disamping sebagai pemelihara kamtibmas dan penegakan hukum, juga sebagai pelayan masyarakat dibidang pengamanan (Social Security Service) (Suhardi, 2004: 1) .

Dalam tugasnya Polri berinteraksi langsung dengan masyarakat karena personil Polri merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri , yang harus menjaga hubungan baik secara individu atau kelompok, intern maupun ekstern. Hubungan antara individu dalam masyarakat terdapat norma yang tidak tertulis atau orang menyebutnya dengan etika. Istilah etika juga dapat diartikan sebagai kode moral (Syukur, 2004: 1), maka kode moral dapat disebut kode etik, walaupun secara etimologi memiliki arti yang berbeda namun dalam pengertian sama- sama mengarah pada perilaku baik atau buruk yang dilakukan manusia.

Etika berkaitan dengan sesuatu yang secara moralitas benar atau salah, dan etika dianggap secara moral yang ditentukan oleh suatu kelompok dalam masyarakat, (Fahry, 1996: XV) menyatakan bahwa etika merupakan gambaran rasional tentang hakikat dan dasar perbuatan yang secara moral diperintahkan atau dilarang. Menurut Frans Magnis Suseno etika dipahami sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik, dan sumber langsung ajaran moral dapat berupa agama (Suseno, 1987: 14). Sebagaimana moral, dalam setiap agama juga terdapat perintah dan larangan, dan disitu terdapat keyakinan bahwa balasan surga atau neraka akan diperoleh karena melaksanakan perintah dan menjauhi larangan agama, ataupun sebaliknya.

Polri memiliki kode etik profesi, yang menjadi pedoman anggota Polri dalam melaksanakan tugas. Kode etik menurut Franz Magnis suseno sebagaimana dikutip oleh Jendral (Purn) Kunarto dalam buku ” Etika Kepolisian ” adalah kumpulan Inti-inti Etika (Kunarto, 1997: 106). Sesuai keputusan Kapolri No.Pol:Kep / 32 / VII / 2003 bahwa secara garis besar kode etik profesi berisi tentang etika pengabdian, etika kelembagaan dan etika kenegaraan. Dalam etika pengabdian terdapat penanaman etika yang berlandaskan nurani dan niat Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Islam batasan antara baik dan buruk dalam perilaku disebut dengan akhlaq, dan akhlaq ini merupakan cerminan dari ketaqwaan seseorang, taqwa menjadikan seseorang enggan melaksanakan perbuatan yang melanggar norma-norma agama, seseorang yang mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah akan mendapat predikat Muttaqin (Yusuf, 1986: 68-69).

Demikian juga jika seorang Polisi memiliki ketaqwaan maka pelaksanaan tugas akan selalu sejalan dengan nilai keagamaan, dan sedapat mungkin terhindar dari penyalahgunaan wewenang, serta menjadikan tugas sebagai salah satu nilai ibadah. Pengabdian merupakan sesuatu yang sangat mendasar yang menjadikan Polri memiliki nilai kejuangan untuk bangsa dan negara bahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan, karena pengabdian kepada Tuhan tidak semua berupa hubungan dengan Tuhan namun juga dengan manusia. Pengabdian kepada manusia merupakan manifestasi pengabdian kepada Tuhan. Tugas pengabdian Polri berdasarkan pada kode etik profesi Polri.

Walaupun Polri telah memiliki kode etik profesi yang tertuang dalam Keputusan Kapolri no 32 tahun 2003, tetapi masih banyak personil polri yang belum menghayati bahkan menyimpang. Kode etik Polri sebenarnya merupakan aturan untuk membentuk citra Polri yang ideal. Namun ternyata banyak kasus yang menunjukkan tidak dipatuhinya etika Kepolisian oleh personil Polri, hal ini mendorong diadakan penelitian, untuk menjawab permasalahan yang terkait dengan kode etik Polri.

Setelah penulis melakukan penelusuran, ditemukan beberapa Penulisan yang membahas tentang etika Kepolisian, diantaranya ”Etika Kepolisian” ditulis oleh Kunarto namun masih terkait dengan ABRI (Saat itu tahun 1996 Polri masih dibawah ABRI). Kunarto (1997: 20) menerangkan tentang beberapa dasar-dasar etika umum, juga kode etik Polri termasuk suatu yang mendasar yakni tentang perasan (nurani). Karena tugas Polisi adalah tugas kemanusiaan, yang mana harus lebih mengedepankan perasaan (nurani). Kunarto menulis Polisi dan masyarakat merupakan saduran dari hasil seminar Persatuan Kepala Polisi Asia Pasifik Ke-6 di Taipe 11-14 Januari 1998. Etika Kepolisian dibahas oleh Mr. Neil G.O. Loughlin seorang Kepala Kepolisian Victoria Australia. Disitu diceritakan standar etika dan kelakuan buruk Polisi, karena kewenangan Polisi berpotensi timbulnya penyalahgunaan wewenang (Kunarto, 1998:65) [1]. Police Deviance ditulis oleh Thomas Barker, Jackson Ville State University dan David L Carter diterjemahkan oleh Kunarto dalam bukunya berjudul penyimpangan Polisi, menyatakan tentang penyalahgunaan wewenang oleh Polisi dan beberapa perilaku yang menyimpang seperti korupsi, kejahatan susila dan penggunaan obat terlarang (Kunarto, 1999: 91-147).

Peter Villiers (1999) dalam buku Better Police ethics a practical guide secara umum menerangkan dasar kode etik Polisi, contoh-contoh kasus penyalahgunaan wewenang seperti korupsi atau intimidasi kepada tersangka yang sedang menjalani proses penyidikan, maupun tindakan yang bijak dari Polisi , Peter mengulas sedikit tentang agama sebagai landasan moral dalam beretika [2].

Anton Tabah dalam bukunya Membangun Polri yang Kuat menulis contoh penyimpangan penembakan oleh seorang Perwira Polri di Polres Metro barat (Iptu Tasman Manurung) kepada 3 orang temannya, 2 orang tewas dan 1 orang luka parah (Tabah , 2001: 57) dan banyak lagi penyimpangan oleh oknum anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya atupun dalam kehidupan sehari-hari ditengah masyarakat.

Dari hasil buku-buku diatas telah dipaparkan etika Kepolisian dan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Polisi, namun penulis belum menemukan adanya penelitian secara khusus tentang Implementasi Kep. Kapolri No.Pol : Kep/32/VII/2003 yang memuat kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Untuk mencapai tujuan penelitian diperlukan metode yang sistematis, karena metode penting dalam sebuah penulisan.

ETIKA PENGABDIAN

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Memahami tentang etika pengabdian Polri maka perlu dikupas pengertian tentang etika, pengabdian dan Polri. Ketiga kata tersebut menjadi salah satu kata kunci keberhasilan tugas Polri. Etika dalam melaksanakan tugas dan pengabdian berfungsi sebagai dasar dalam setiap penugasan.

1. Etika, moral dan akhlak

Sering mendengar istilah etika, moral dan akhlak yang sekilas memiliki kesamaan dalam pegertian, namun jika dilihat dari asal usul kalimatnya jelas berbeda, walaupun secara harfiah memiliki arti yang berbeda namun dalam pengertian sama - sama mengarah pada perilaku baik atau buruk yang dilakukan manusia

a. Etika

Banyak ilmuwan mendefinisikan etika, sebagian berpendapat bahwa etika menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani ”etos ” yang artinya kebiasaan, adat, sikap (Kunarto, 1997: 106) Etika dirumuskan oleh K. Bertens (1994: 4) yaitu ilmu yang membahas tentang adat, kebiasaan moral; dan tingkah laku moral, etika merupakan tingkah laku sendiri yang berlaku tanpa orang lain, bersifat absolut yang berasal dalam diri manusia itu sendiri. Sebagian lagi mengartikan Istilah etika sebagai kode moral (Syukur, 2004: 1), sedangkan kode moral dapat disebut kode etik Kode etika atau kode etik artinya daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya. Etika berkaitan dengan sesuatu yang secara moralitas benar atau salah, dan etika dianggap secara moral ditentukan oleh suatu kelompok dalam masyarakat, Majid Fahry (1996: XV) menyatakan bahwa etika merupakan gambaran rasional tentang hakikat dan dasar perbuatan yang secara moral diperintahkan atau dilarang. Frans Magnis Suseno (1987: 14) memahami etika sebagai ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik, adapun sumber langsung ajaran moral, dapat berupa agama. Sebagaimana nilai moral dalam setiap agama juga terdapat perintah dan larangan, maka baik dan buruknya perilaku sesuai dengan ketaatan dalam menjalankan perintah dan ketaatan dalam menjauhi larangan.

Ahmad Amin (1986: 2-10) etika dapat disimpulkan memiliki tiga kedudukan :

1) Etika sebagai ilmu, merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang.

2) Etika sebagai perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu berbuat kebajikan, dan tidak etis jika berbuat yang tidak baik.

3) Etika sebagai falsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

Atau terdapat istilah descriptiptive ethics, normative ethics dan philosophy ethics. dengan pengertian:

1) Descriptive ethics, adalah gambaran-gambaran atau lukisan tentang etika.

2) Normative ethics, merupakan norma-norma tertentu tentang etika agar seseorang dapat dikatakan bermoral.

3) Philosophy ethics, adalah etika sebagai filsafat, yang menyelidiki kebenaran. Artinya mencari keterangan yang benar, ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk bagi tingkah laku manusia, serta ingin mencari norma-norma, ukuran-ukuran mana susila itu, tindakan mana yang dianggap paling baik (Wursanto, 2003: 17).

b. Moral

Moral secara etimologis dari kata mores berasal dari bahasa Latin, kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan" berarti adat kebiasaan atau susila. Jadi moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi kesatuan sosial / lingkungan tertentu dan moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita hidup secara baik sebagai manusia, yang didalamnya terdapat aturan-aturan bagaimana bertindak dengan baik sebagai manusia dan menghindari perilaku yang tidak baik (Salam, 1997: 3). Dalam kehidupan sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun, dan perilaku. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi norma kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik, su dalam bahasa jawa kuno berarti baik, sila berarti dasar-dasar atau prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan hidup maka susila diartikan sebagai prinsip prinsip kebaikan.

c. Akhlak

Perilaku manusia juga disebut dengan akhlak , yang berasal dari bahasa Arab ”akhlaq” berarti kebiasaan, sedang akhlak sendiri memiliki pengertian yang hampir sama dengan moral [3], banyak orang berasumsi adanya kesamaan definisi antara moral, etika dan akhlak, secara etimologi ketiganya berasal dari bahasa yang berbeda sehingga memiliki pengertian yang berbeda, namun memiliki aspek yang sama yaitu mengenai baik dan buruknya perilaku manusia.

2. Pengabdian

Kata abdi berasal dari bahasa Arab ”Abdun” yang berarti hamba. Seorang hamba pasti memilki majikan (tuan) maka Abdi merupakan tugas penuh seorang pelayan kepada majikannya, dalam kehidupan sehari-hari hamba harus selalu menjaga etika kepada majikannya, agar terjalin hubungan yang baik antar keduanya, dalam hal ini Polisi bertindak sebagai pelayan masyarakat sesuai dengan dasar Kode etik Polri dalam Tri brata pada brata I ”Rastra Sewa Kottama” yang berarti abdi utama dari pada Nusa dan Bangsa (Mabes, 1999: 127) sebagaimana yang dikatakan oleh S.A. Suhardi (2004: 28) yaitu dituntut memiliki kerendahan hati, sebagai komitmen dasar kepribadian dan sadar bahwa dirinya adalah pelayan ” the essence of correct police attitude is willingness to serve ”, bahwa perilaku yang terbaik bagi polisi adalah kemauan memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat. Pengabdian yang diberikan oleh Polisi berkaitan dengan tugas-tugas Kepolisian yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Perubahan paradigma Polri yang pada masa lalu merupakan alat penguasa menjadi abdi bagi masyarakat , yang harus menjiwai perilaku sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, mempunyai pengertian :

a. Pelindung

Memberikan seluruh kemampuannya untuk melindungi masyarakat agar terbebas dari perasaan takut, dan dari bahaya, hingga tercipta rasa aman dan tentram .

b. Pengayom

Dengan segala kemampuannya menebarkan suasana yang kondusif, dengan pesan-pesan kamtibmas serta ajakan untuk membentuk lingkungan yang harmonis.

c. Pelayan

Setiap saat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat , dengan etika, sopan santun, dan saling menghargai (Mabes, 2007: 14).

Etika Kepolisian merupakan ukuran baik dan buruknya perilaku polisi, sehingga personil yang bertindak tidak sesuai dengan etika tersebut bertarti melanggar etika. Baik dan buruknya tugas tergantung dengan baik atau tidaknya etika kepolisian. Karena etika Kepolisian hanya mengikat pada lingkungan Polisi, maka jika ada orang (bukan Polisi) yang melakukan tugas utama polisi meskipun sesuai dengan etika kepolisian seperti penyidikan, penahanan dan penggeledahan , maka dianggap tidak baik atau tidak etis karena bukan porsinya.

3. Kepolisian

Secara umum Kepolisian merupakan salah satu alat negara yang bertugas menangani keamanan dalam negeri khususnya berkaitan dengan penegakan hukum. Dalam undang – undang RI nomor 2 tahun 2002 bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Di Indonesia lembaga ini dikenal dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri, yang dalam undang – undang RI nomor 2 tahun 2002 bab I pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (Karnadi, 2002: 3 dan 6).

Dasar – dasar etika

Ukuran baik dan buruknya etika dilihat dari tujuan etika itu sendiri, dan dasar etika dapat menurut ajaran agama (Teologis), adat kebiasaan (Traditionalisme), hedonisme (kebahagiaan), bisikan hati (intuisi), evolusi, utilitarisme, eudaemonisme, pragmatisme, positivisme, naturalisme, vitalisme, idealisme, eksistensialisme, marxisme, komunisme, kriteria perbuatan baik atau buruk secara singkat akan diuraikan di bawah ini sebatas berbagai aliran atau faham berkembang sampai saat ini. Masing-masing, personil Polri pada umumnya melakukan macam-macam etika ini tergantung apa yang menjadi tujuannya dalam melaksanakan tugasnya, maka perlu penulis kemukakan beberapa dasar etika.

1. Teologis (Agama)

Aliran ini mengajarkan bahwa kebaikian yang abadi dan mutlak adalah Tuhan. Tuhan merupakan penentu kebaikan karena diri-Nya sendiri merupakan kebaikan (Kattsoff, 1992:371-373) Tuhan adalah sumber dari agama yang memerintahkan manusia untuk berbuat baik sesuai dengan ajaran agama. Di Indonesia ada beberapa agama yang diantaranya Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, maka pantaslah jika etika Polri dipadukan dengan agama yang ada. Sedang mayoritas anggota Polri adalah pemeluk Islam layaklah dirumuskan perpaduan etika Polri dengan etika Islam.

2. Tradisionalisme

Tradition berarti kebiasaan atau adat istiadat, menurut ajaran ini baik atau tidak dinilai dari adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu, dan apa saja yang menentangnya dianggap tidak baik (Salam, 1996:82), seperti pepatah Arab yang mengatakan Tarku al-adah adawah yang berarti meninggalkan adat adalah musuh .

3. Kebahagiaan (Hedonisme)

Semua tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan. Dalam faham ini memiliki tiga sudut pandang yaitu (1) hedonisme individualistic / egoistik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) hedonisme rasional / rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang mempunyai tolok ukur suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk (Vos, 2002 : 161-167).

4. Bisikan Hati (Intuisionisme)

Aliran ini menyatakan bahwa kekuatan batin yang dapat mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu. Faham ini merupakan bantahan terhadap faham hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini adalah keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai kebaikan budi pekerti. instutisi ini sebenarnya dimiliki oleh seluruh masnusia, termasuk anggota Polri dimana mereka memiliki suara hati, bahwa pada saat melakukan hal yang tidak sesuai dengan kebaikan atau aturan sebenarnya hatinya tahu bahwa itu tidak baik (Salam, 1996 : 80-81). Karena didalam batin manusia ada dua suara kecenderungan baik dan buruk, dan ia tahu bahwa yang dilakukan baik atau buruk (Amin, 1975: 69).

5. Evolusi

Aliran ini memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (secara berangsur-angsur) mengalami perubahan yaitu berkembang menuju kearah kesempurnaan. Dengan mengadopsi teori Charles Robert Darwin (1809-1882)[4] yang mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan segala yang ada di alam ini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar nilai) dipandang sebagai buruk (Mudhofir, 1988: 27).

6. Eudemonisme

Aliran ini memiliki prinsip pokok kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah (Vos, 2002: 168-176). Jika semua Polisi memiliki paham ini mungkin akan tercipta Polisi yang bersih dan berwibawa, karena baik menurut diri dan orang lain.

7. Altruisme

Paham ini menititkberatkan pada hal-hal yang berguna bagi orang lain baik yang bersifat moral maupun material. Dan berprinsip mengutamakan oranglain, walaupun dirinya sendiri menderita atau menanggung rugi (Salam , 1997: 82 )

8. Naturalisme

Paham ini mempunyai ukuran baik atau buruk yang terkait dengan fitrah manusia. Apabila sesuai dengan keadaan alam, maka itu dikatakan baik. Sedangkan apabila tidak alami dipandang buruk. Bahkan kemajuan, pengetahuan dan kebudayaan itu tidak baik jika menjadi perusak alam semesta (Yusuf, 1986:148-150).

9. Vitalisme

Aliran ini merupakan sanggahan pada aliran naturalisme karena menurut faham ini yang menjadi ukuran baik dan buruk itu bukan alam tetapi vitae atau hidup (yang sangat diperlukan untuk hidup). Aliran ini terdiri dari dua kelompok yaitu (1) vitalisme pessimistis (negative vitalistis) dan (2) vitalisme optimistime. Kelompok pertama terkenal dengan ungkapan homo homini lupus artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Sedangkan menurut aliran kedua perang adalah halal, sebab orang yang berperang itulah (yang menang) yang akan memegang kekuasaan. Tokoh terkenal aliran vitalisme adalah F. Niettsche yang banyak memberikan pengaruh terhadap Adolf Hitler pemimpin Nazi Jerman (Vos, 2002: 197-202 ).

10. Aliran Idealisme

Sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia sebab pikiran manusialah yang menjadi sumber ide. Ungkapan terkenal dari aliran ini adalah segala yang ada hanyalah yang tiada sebab yang ada itu hanyalah gambaran/perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan). Sebaik apapun tiruan tidak akan seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang baik itu hanya apa yang ada di dalam ide itu sendiri (Vos, 2002:203-210). Maka ide itu perlu dipertahankan karena baik, dan ide harus dilaksanakan karena akan muncul hal yang baik, dan banyak anggota Polri yang idialis dalam melaksanakan tugas berbenturan dengan yang lain, karena berbeda ide.

11. Aliran Marxisme

Berdasarkan “Dialectical Materialsme” yaitu segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Aliran ini memegang motto “segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan”. Jadi apapun dapat dipandang baik asal dapat menyampaikan / menghantarkan kepada tujuan, namun didalam mencapai tujuan dianjurkan untuk bekerja sama dan tidak adanya kelas dalam masyarakat (Vos, 2002: 189-196).

Beberapa dasar etika diatas dapat memperngaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat, termasuk angota Polri.

Tugas dan wewenang Polri

Dalam Undang-undang RI No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian negara Republik Indonesia pada bab III pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum adalah:

1. Memelihara hukum; dan

2. Menegakkan hukum; dan

3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Mabes, 2002: 9)

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam pasal 18 ayat (2) Polisi harus memperhatikan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia . Dalam pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Mabes, 2002: 15).

Dengan demikian norma etika harus selalu dipegang oleh personil Polri dalam bertindak selaku pemelihara dan penegak hukum serta sebagai Pelindung, Pengayom dan Pelayan masyarakat. Disinilah nilai pengabdian yang terkandung dalam peran Polri, dan pengabdian memiliki etika sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Kapolri No.Pol: Kep / 32 / VII / 2003.

Etika Pengabdian ( dalam Kep. Kapolri No.Pol: Kep / 32 / VII / 2003 )

Etika pengabdian yang termuat dalam Keputusan Kapolri No.Pol: Kep/32/VII/2003 yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juli 2003 tentang Kode Etik Polri Kode Etik Polri meliputi tujuh pasal, yang masing-masing pasal adalah sebagai berikut :

1. Pasal 1

Bahwa anggota Kepolisian negara Republik Indonesia senantiasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan sikap pengabdiannya berperilaku :

a. Menjunjung tinggi sumpah sebagai anggota Polri dari dalam hati nuraninya kepada Tuhan Yang Maha Esa

b. Menjalankan tugas kenegaraan dan kemasyarakatan dengan niat murni karena kehendak Yang Maha Kuasa sebagai wujud nyata amal ibadahnya

c. Menghormati acara keagamaan dan bentuk-bentuk ibadah yang dselenggarakan masyarakat dengan menjaga keamanan dan kekhidmatan pelaksanaannya.

2. Pasal 2

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nuisa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan :

a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya

b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia

c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan dan seluruh waktu.

d. Rela berkorban jiwa dan raga untuk bangsa Indonesia

3. Pasal 3

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum selalui menunjukkan sikap perilaku terpuji dengan :

a. Meletakkan kepentingan negara, bangsa masyarakat dan kemanusiaan diatas kepentingan pribadinya.

b. Tidak menuntut perlakuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan terhadap semua warga negara dan masyarakat

c. Menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perorangan serta menjauhkan sekuat tenaga dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil dan pelaksanaan tugas.

4. Pasal 4

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas penegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan :

a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;

b. Tidak memihak;

c. Tidak melakukan pertemuan diluar ruang pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait perkara ;

d. Tidak memplubikasikan nama terang tersangka dan saksi

e. Tidak mempublikasikan tatacara, taktik dan teknik penyidikan;

f. Tidak menimbulkan penderitaan akibat penyalahgunaan wewenang dan sengaja menimbulkan rasa kecemasan, kebimbangan dan ketergantungan pada pihak-pihak yang terkait dengan penyelesaian perkara ;

g. Menunjukan penghargaan terhadap semua benda-benda yang berada dalam penguasaanya karena terkait dengan penyelesaian perkara ;

h. Menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan sesama pejabat negara dalam sistem peradilan pidana ;

i. Dengan sikap ikhlas dan ramah menjawab pertanyaan tentang perkembangan penanganan perkara yang ditanganinya kepada semua pihak yang terkait dengan perkara pidana dimaksud, sehingga diperoleh kejelasan tentang penyelesaiannya.

5. Pasal 5

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa :

a. Memberikan pelayan terbaik ;

b. Menyelamatkan jiwa seseorang pada kesempatan pertama ;

c. Mengutamakan kemudahan dan tidak mempersulit ;

d. Bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap congkak / arogan karena kekuasaan;

e. Tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang ;

f. Tidak mengenal waktu istirahat selama 24 jam, atau tidak mengenal hari libur ;

g. Tidak membebani biaya, kecuali diatur dalam pengaturan perundang-undangan ;

h. Tidak boleh menolak permintaan pertolongan bantuan dari masyarakat dengan alasan bukan wilayah hukumnya atau karena kekurangan alat dan orang ;

i. Tidak mengeluarkan kata-kata atau melakukan gerakan-gerakan anggota tubuhnya yang mengisyaratkan meminta imbalan atas bantuan Polisi yang telah diberikan kepada masyarakat ;

6. Pasal 6

(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya senantiasa berdasarkan pada norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.

(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan perlu dirahasiakan

7. Pasal 7

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa :

a. Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan ;

b. Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas ;

c. Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat ;

d. Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan / pertolongan ;

e. Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;

f. Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan maratabat perempuan ;

g. Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak dibawah umur ;

h. Merendahkan harkat dan martabat manusia[5].

Pasal-pasal diatas adalah etika pengabdian yang dimiliki oleh Polri, dan etika tersebut merupakan norma yang harus ditaati oleh anggota Polri. Norma dibuat untuk dilaksanakan, namun jika tidak terimplementasi dalam seuatu lembaga maka tidak ada pengaruh dan manfaatnya, karena itu perlu melakukan evaluasi yang berkelanjutan untuk mengetahui penerapan norma tersebut.

Sanksi / hukuman pelanggaran kode etik

Jika terjadi pelanggaran pada kode etik Polri akan dikenakan hukuman sebagaimana diatur dalam PP nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan disiplin[6] anggota Polri dalam pasal 9 berupa :

1. Teguran tertulis

2. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun

3. Penundaan kenaikan gaji berkala

4. Pembebasan dari jabatan

5. Mutasi yang bersifat demosi[7]

6. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari ( PP no 1 2003 pasal 11 )

7. PTDH ( Pemberhentian tidak dengan hormat ) apabila :

a. Melakukan tindak pidana

b. Melakukan pelanggaran

c. Meninggalkan tugas atau hal lain[8]

Tugas dan wewenang Polri yang diatur dalam undang undang diatur pula dengan kode etik sehingga jika penerapan tugas sesuai dengan kode etik, keberhasilan tugas Polri akan dicapai, termasuk pemberian sanksi terhadap para pelanggar kode etik Polri.

Pemberian sanksi atau hukuman ini merupakan shock terapi bagi anggota Polri yang lain agar tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dari etika Polri yang sudah di tentukan, demi terwujudnya citra Polri yang semakin baik dan dicintai masyarakat.

Kondisi sebelum dan sesudah Reformasi

Asalnya Kode etik Kepolisian berupa aturan untuk membina disiplin mahasiswa PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) yang disebut dengan Tri Brata yang diikrarkan pertama kali pada upacara wisuda angkatan II tanggal 3 Mei 1954, kemudian pada tanggal 1 Juli 1955 ditetapkan sebagai pedoman bagi para personil Polri.

Pada masa Kapolri Anton Sujarwo tanggal 1 Juli 1985 bertepatan dengan HUT Bhayangkara yang ke 39 nilai-nilai Tribrata dinyatakan sebagai Kode etik Polri (Mabes, 1999:126-129) dan selanjutnya naskah ini disebut dengan naskah ikrar kode etik Polri. Ketika berlaku undang-undang no 28 tahun 1987 mempersyaratkan adanya kode etik Polri, maka tanggal 1 Maret 2001 diterbitkan buku petunjuk administrasi komisi kode etik profesi Polri.

Kode etik tersebut di berikan sebagai kurikulum di dalam lembaga pendidikan Kepolisian, dan pada kewilayahan sebagai pedoman tugas. Namun belum diadakan sosialisasi secara detail dalam bentuk arahan tentang keberadaan Kode etik tersebut. Penyampaiannya melalui surat atau telegram yang disampaikan pada masing-masing kesatuan, dan disampaikan pada anggota melalui jam[10] pimpinan.

Pada tanggal 1 Juli 2003 bertepatan dengan HUT Bhyangkara yang ke 57 sesuai dengan kep Kapolri/32/VII/2003 ditetapkanlah kode etik Polri sebagai pegangan personil Polri dalam mengemban tugasnya. Kode etik tersebut terbentuk dalam 5 bab dan 20 pasal yang meliputi etika pengabdian, etika kelembagaan, etika kenegaraan, dan penegakan kode etik Polri.

Sebelum reformasi bergulir citra Polri sangat buruk dimata masyarakat. Hal tersebut karena penyimpangan perilaku yang dilakukan anggota Polri ( walaupun tidak semua).

Tahun 1995 ketika penulis selesai melaksanakan pendidikan dan ditempatkan di Polres Kendal, penulis banyak menyaksikan berbagai macam penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kode etik Polri. Beberapa perilaku tersebut contohnya melakukan pungli (pungutan liar) kepada sopir truk dipangkalan TPR (tempat pembayaran restribusi) yang ada di Desa Pucangrejo Kecamatan Gemuh dan Desa Gondang Kecamatan Cepiring. disitu terlihat para oknum terlihat dengan jelas ketika truk melewati tempat pembayaran restribusi, oknum tersebut berdiri + 10 meter dari TPR dengan melambaikan tangan kemudian menerima uang dari kernet truk yang berjalan tersebut yaitu sejumlah uang Rp.1000,- s/d Rp.5000,- dan pemandangan ini setiap hari terjadi.

Pungli ini terjadi pula saat berlangsungnya operasi kepolisian baik yang di gelar di jalan umum (pantura) atau di depan Polres Kendal, banyak anggota yang menerima uang dari sopir yang diperiksa. Karena sopir takut dicari kesalahannya oleh Polisi maka dalam surat-surat yang diperiksa (SIM dan STNK) didalam lipatannya diselipkan uang Rp.3000 s/d Rp. 10.000.

Bentuk penyimpangan yang lain adalah mabuk-mabukan ditempat umum, bahkan beberapa anggota mati kecelakaan disebabkan minum-minuman keras. Penyimpangan yang lain berupa penganiayaan kepada tahanan, hampir setiap hari anggota yang melaksanakan piket jaga melakukan penganiayaan kepada para tahanan, bahkan merupakan kepuasan tersendiri kalau sudah menganiaya tahanan, walaupun tahanan tersebut belum tentu bersalah.

Mendatangi tempat perjudian adalah hal yang biasa terutama bagi anggota Polri yang berpakaian preman, tempat perjudian juga merupakan salah satu lahan, yang dengan alasan untuk mencari dukungan dana untuk tugas penyelidikan. Saat nomor togel masih beredar di Jawa Tengah , di Kendal marak pula beberapa agen togel yang tersebar di wilayah Polres Kendal, setiap malam petugas piket selalu mendapatkan jatah, dan setiap bulan para pimpinan mulai dari kanit sampai pimpinan tertinggi di Polres Kendal mendapat jatah pula, hal ini berlangsung sampai Kapolda Irjen Chairul Rasyid memimpin Polda Jateng membrantas perjudian termasuk togel.

Petugas dari satuan lalu-lintas atau Polisi yang bertugas di jalan raya merasa seperti penguasa yang selalu mencari mangsa berupa pelanggaran lalu-lintas, kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber penghasilan tambahan, yang mungkin justru lebig banyak daripada gaji Polisi sendiri.

Saat terjadinya reformasi Polri dihadapkan dan ditempatkan pada posisi yang serba sulit disatu sisi mempertahankan kebijakan pemerintah disatu sisi mengamankan rakyat, namun yang terjadi berhadapan dengan masyarakat yang dilindunginya, demikian pula terjadi di Kendal unjukrasa menjadi pemandangan yang menghiasi setiap hari. Namun unjukrasa yang terjadi di kendal tidak sampai pada anarkhis, hal itu menjadikan para personil Polres Kendal tidak terpengaruh untuk berbuat keras pada pengunjuk rasa, walaupun penganiayaan kepada seorang yang disangka melakukan tindak pidana masih berlangsung.

Setelah reformasi di negeri ini, Polri mulai memperbaiki diri sedikit-demi sedikit, begitu pula Polres Kendal berusaha untuk membenahi personilnya dan meminimalisir terjadinya pelanggaran atau penyimpangan wewenang. Yang menjadi permasalahan adalah tuntutan pimpinan Polres Kendal agar anggota menjadi baik, namun tidak kalah pentingnya adalah tauladan. Tauladan ini adalah nilai kejujuran yang perlu ditanamkan dan dicontohkan kepada anggota, memang sampai saat ini belum ada komitmen dari para pimpinan Polri (juga Polres Kendal) untuk bertindak jujur. Contoh yang konkrit berapa banyak dana yang diajukan dan turun, serta bagaimana penggunaan dana tersebut.

Demikian pula fungsi pengawasan yang setiap triwulan atau semester diadakan wasrik (pengawasan dan pemeriksaan) dari Polda ketiap-tiap Polres, tidak memperbaiki kinerja, tapi justru ajang untuk mencari upeti di kewilayahan oleh para petugas wasrik. Ketika pemeriksa masuk ke ruang Kasat (kepala satuan) atau Kabag (kepala bagian), maka kasat atau kabag sudah mempersiapkan amplop berisi uang yang nantinya diberikan kepada tim pemeriksa, padahal tim pemeriksa sudah menerima biaya perjalanan dari dinas.

Sekedar uang bensin mungkin kata yang tepat untuk memberikan upeti, kejadian seperti ini mungkin telah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda, inspeksi yang diadakan kedaerah-daerah justru hanya untuk mencari penghasilan dari wilayah tersebut.

Dikeluarkanya kode etik profesi Polri pada tahun 2003, semakin menambah garis pembatas tugas Polri agar tidak terjadi penyimpangan, karena kode etik mulanya hanya berupa kalimat-kalimat sansekerta yang diingat oleh anggota Polri namun tidak dimengerti secara mendalam arti dan maksudnya terdiri dari Tri brata dan Catur Prasetya yang diwariskan oleh Gajahmada jaman kerajaan Majapahit (Mabes, 1981: 1-6), dalam kode etiik ini secara rinci perpasal dapat dipahami dan mudah dimengerti.

Terbatasnya pemahaman dan kepedulian anggota terhadap kode etik menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran dan penyimpangan perilaku.


[1] Buku ini merupakan saduran dari The 6th Asia Pacifik Executif Policing Conference” yaitu seminar Kepala Polisi se Asia Pasifik ke VI di Taipei 11 – 14 Januari 1998 .

[2] Peter Villiers dalam bukunya ”Better Police Ethics A Proctial Guide”, diterjemah oleh Jenderal Polisi ( Purn) Drs. Kunarto , diterbitkan PT. Cipta Manunggal , Jakarta, 1999, hlm 44 dan 255 -264 .

[3] Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan dan pertimbangan terlebih dahulu, dalam hal ini karena sudah menjadi kebiasaan yang terlatih, lihat Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulumudin juz 3 hlm 52, hampir sama dengan pengertian etika yang dikemukakan oleh K. Bertens dalam buku Etika.

[4] Konsep selection of nature, struggle for life, dan survival for the fittest, yaitu teori tentang evolusi dimana makhluq akan terseleksi oleh alam, siapa yang dapat bertahan maka dia akan hidup.

[5]. Lihat keputusan Kapolri No. Pol : Kep / 32 / VII / 2003, Polda Jateng, 2003, hlm 7-11

[6]. Disiplin adalah ketaatan dan kepatuhan yang sungguh – sungguh terhadap peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, lihat PP nomor 2 tahun 2003 pasal 1 ayat 2.

[7] Mutasi demosi adalah mutasi yang tidak bersifat promosi jabatan.

[8] Meninggalkan tugas secara tidak sah dalam waktu 30 ( tiga puluh hari ) kerja secara berturut-turut ( disersi ) , melakukan perbuatan dan perilaku yang dapat merugikan dinas Kepolisian, melakukan bubuh diri dengan maksud menghindari tuntutan hukuman atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan dan menjadi anggota dan / pengurus partai politik, lihat PP no:1 tahun 2003 pasal 11-14.

[9] Jam pimpinan adalah istilah dalam TNI / Polri ( dulu ABRI ) yaitu waktu dimana pimpinan memberikan arahan kepada bawahan sebagai bekal melaksanakan tugas, dan jam pimpinan ini diberikan setiap saat diperlukan.